AF menunduk dengan tangan terikat. Pria berusia 42 tahun itu diduga memiliki 360 kilogram sisik trenggiling (Manis Javanica).
Kamis (25/5) sore, AF dipresentasikan di aula Kantor Pelayanan Bea dan Cukai Kalimantan Bagian Selatan (Kalbagsel). Dengan penutup muka berwarna hitam, hanya satu kalimat yang keluar dari mulut AF, “Saya berasal dari Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST).”
Malam harinya, tim menghentikan dan menginspeksi mobil Suzuki Carry ST100 bernopol DA 1680 AB yang sedang menuju Pelabuhan Trisakti. Di dalam mobil ditemukan delapan karung berisi kardus. Di dalam kotak terdapat sisik trenggiling yang siap dibagikan.
Keterangan pengemudi berinisial SR (35), AF pemilik timbangan trenggiling. SR kemudian diminta menghubungi AF untuk segera datang ke Bea Cukai. Saat tiba, AF memastikan bahwa sisik trenggiling itu adalah miliknya.
Tak lama kemudian, kasus tersebut dilimpahkan ke Badan Keamanan dan Penegakan Hukum (Gakkum) Lingkungan Hidup dan Kehutanan Kalimantan untuk diproses. Keesokan harinya, Kamis (18/5), penyidik LHK menetapkan AF sebagai tersangka. Kemarin, selain AF, ia juga diperlihatkan delapan kotak berkarung yang berisi sisik-sisik satwa dilindungi ini. Kepala Kanwil DJBC Kalbagsel, Rony Rosfyandi mengatakan, seluruh karung tersebut memiliki berat 360 kilogram.
Direktur Jenderal Bantuan Hukum KLHK, Ratio Ridho Sani menambahkan, yang dilakukan AF merupakan upaya penyelundupan. Dalam pemeriksaan, AF mengaku sisik trenggiling tersebut akan dijual dan dikirim ke agen atau pembeli di Jawa Timur.
Ia menekankan, ini merupakan ancaman terhadap kelestarian, keanekaragaman hayati dan ekosistem, serta menimbulkan kerugian ekonomi yang sangat besar. Karena satu kilogram sisik kering sama dengan membunuh empat trenggiling.
“Jadi, jika saat ini ada 360 kilogram sisik yang diamankan, berarti sama dengan 1.440 ekor trenggiling hidup yang dibunuh,” tegasnya. Padahal trenggiling termasuk hewan yang dilindungi undang-undang. Termasuk dalam daftar spesies yang dilarang untuk diperdagangkan.
Hasil kajian valuasi ekonomi satwa liar oleh Ditjen Hukum dan Penegakan Hukum dan Lingkungan Hidup bersama pakar dari IPB, terungkap bahwa satu trenggiling memiliki nilai puluhan juta rupiah. “Dalam kasus ini, ada 1.440 ekor trenggiling yang mati. Kerugian ekonomi dari kejahatan ini mencapai Rp72,86 miliar,” jelasnya. Lantas, darimana AF mendapatkan sisik trenggiling sebanyak itu? Apakah dia bekerja sendiri? untuk mengumpulkan mereka?
Sayangnya, pertanyaan tersebut belum mendapatkan jawaban dari konferensi pers ini. Namun, Ratio menjamin penyidiknya mempelajari dan mengembangkan kasus ini. “Jauhi keterlibatan pelaku lain, untuk menjerat pelaku dengan penyidikan tindak pidana pencucian uang,” ujarnya.
“Progresnya akan kami sampaikan pada pertemuan berikutnya,” janjinya. Terkait barang bukti ratusan kilogram sisik trenggiling, Ratio menyatakan akan dimusnahkan. Terpisah, Direktur Pencegahan dan Pengamanan LHK, Sustyo Iriyono mengatakan, AF diduga melanggar Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Ancaman maksimal lima tahun penjara dan denda Rp 3,5 miliar.
Sustyo mengatakan para pelaku harus dihukum seberat-beratnya, karena penyelundupan tumbuhan atau satwa dilindungi merupakan kejahatan berat. “Bahkan menjadi perhatian dunia internasional. Kejahatan ini harus dihentikan dan perlu ditindak tegas. Pelakunya harus dihukum maksimal agar ada efek jera dan keadilan,” pungkasnya.
Lalu, mengapa sisik trenggiling begitu diburu dan dihargai tinggi? Merujuk situs resmi WWF-Indonesia, sisik trenggiling disebut-sebut mengandung zat adiktif Tramadol HCI yang merupakan zat analgesik adiktif untuk mengatasi nyeri.
Selain itu, zat ini juga merupakan partikel pengikat zat dalam psikotropika. Singkatnya, sisik trenggiling merupakan bahan baku pembuatan narkotika jenis sabu.
Pengawasan Masih Lembut
Liana Dee, aktivis Garda Animalia dari sektor media dan advokasi, menanggapi terbongkarnya penyelundupan sisik trenggiling. Liana mengapresiasi penangkapan dan penyitaan 360 kilogram sisik trenggiling kering oleh AF. Namun, baginya penyelundupan ini merupakan bukti kegagalan mencegah pembunuhan ribuan trenggiling.
“Pemerintah ketinggalan dan tidak bisa mencegah,” katanya melalui sambungan telepon, (25/5). Liana menegaskan perlu dilakukan pemetaan titik-titik rawan penyelundupan. Entah itu lokasi, asal transit, atau tujuan pengiriman hewan ilegal. “Kalau sudah dipetakan, maka harus ada evaluasi. Kenapa sebenarnya bisa terjadi, bahkan cukup besar,” usulnya.
Evaluasi bertujuan untuk mengetahui dan “menambal” hal-hal yang dianggap kurang. “Perkuat pengawasan dan pengawasan. Ini memang terlihat sederhana, tetapi dalam praktiknya, sangat dibutuhkan komitmen dan keseriusan,” tegasnya. Selain itu, dia juga meminta pemerintah transparan mengenai nasib barang bukti tersebut. “Transparansi bukti itu penting. Jangan sampai disalahgunakan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab,” pungkasnya.
Terkait pengawasan, pegiat lingkungan dan pemerhati satwa liar yang dilindungi di Kalsel, Bambang Karyanto pun angkat bicara. Ia mengatakan pengawasan dari Badan Konservasi dan Sumber Daya Alam (BKSDA) masih lemah. Mengingat sejak dulu peredaran satwa langka di Kalsel masih sangat masif dan lancar.
“Jangankan sisik trenggiling, lihat saja peredaran telur penyu yang seharusnya dilindungi. Di Banjarmasin masih dijual bebas di pinggir jalan,” ujarnya. Bambang juga ikut dalam sejumlah kasus penyelundupan hewan yang disidangkan di Kalsel. Berkali-kali telah ditangkap dan dicoba. Namun, hukumannya sebenarnya ringan. “Misalnya, kasus penyelundupan sebanyak 1.000 ekor. Hukuman yang diterima terdakwa hanya dua bulan penjara,” jelasnya.
“Tidak ada efek jera sama sekali,” cibirnya. Mengenai kemana akan dikirim, Bambang menjelaskan, biasanya barang selundupan dipesan oleh orang yang berada di luar Pulau Kalimantan.
“Harga yang ditawarkan menggiurkan. Ada berbagai saluran distribusi atau distribusi, baik melalui jalur darat. Misalnya melalui bus antar provinsi. Stock dulu di Banjarmasin, sebelum akhirnya dikirim ke luar pulau lewat jalur laut,” pungkasnya.