Wakil Ketua MPR RI Yandri Susanto mengungkapkan, 72 persen umat Islam Indonesia tidak bisa mengaji. Betapa tidak, angka buta aksara Al-Qur’an begitu besar hingga menimpa negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Bagaimana di Banua?
***
Bagaimana dengan di Kalimantan Selatan? Kepala Kanwil Kemenag Kalsel Muhammad Tambrin menjawab sebaliknya.
“Di sini justru sebaliknya. Yang bisa mengaji 72 persen,” katanya kepada Radar Banjarmasin kemarin (6/3).
Tambrin menyadari bahwa klaimnya tidak didukung oleh data. Namun dia yakin, pernyataannya bisa dibuktikan melalui penelitian ilmiah.
“Karena masyarakat Kalsel sangat religius. Ini dibuktikan dengan daftar tunggu haji kita yang sudah mencapai 36 tahun, terlama dari seluruh provinsi,” tegasnya.
Argumennya juga didukung oleh banyaknya Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPA) di Banua. “Ribuan TPA saja,” ujarnya.
Disebutkannya, di Kalsel terdapat 290 pesantren, 1.470 madrasah, dan 400 madrasah.
“Jadi harus dipastikan, di sini lebih banyak umat Islam yang bisa mengaji daripada yang tidak bisa,” lanjutnya.
Jika ada 28 persen yang tidak bisa mengaji, menurut Tambrin, itu karena kelalaian masing-masing. “Juga faktor lingkungan dan keluarga,” imbuhnya.
Hanya 150 ribu Rupiah
Guru ngaji seharusnya tidak perlu lagi memikirkan urusan perut. Mereka hanya fokus mendidik anak didiknya.
Masalahnya, tingkat kesejahteraan guru ngaji di Kalsel masih rendah.
Fakta itu diakui Ketua Badan Koordinasi Pemuda dan Pemuda Masjid Indonesia (BKPRMI) Kalsel, Hermansyah.
Ia mencontohkan, di Hulu Sungai Utara (HSU), alokasi bantuan dari pemerintah daerah untuk guru ngaji hanya Rp. 150.000 per bulan.
“Nilainya bervariasi, berbeda antar daerah. Ada yang memberikan 300 ribu rupiah, 200, bahkan 150 per bulan,” kata Kepala Dinas Pemuda dan Olahraga Kalsel itu.
Herman mengatakan, saat ini Kalsel memiliki 18 ribu ustaz dan ustazah. Mereka yang mengemban misi pemberantasan buta huruf Al-Qur’an.
Setiap tahun, pemerintah provinsi mengucurkan dana hibah ke BKPRMI. Tahun ini saja berjumlah Rp 800 juta. “Tentunya sebagian digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan ustaz dan ustazah,” pungkasnya.
Terpisah, Ketua Umum BKPRMI Banjarmasin, Ichrom Muftezar mengatakan Pemko memberikan bantuan sebesar Rp. 600.000 per bulan untuk guru mengaji di Banjarmasin.
Sifat pendapatan tambahan. Karena mereka mendapat honor dari TKA/TPA tempatnya mengajar. “Nilai bantuan Pemko alhamdulillah meningkat dari tahun ke tahun,” ujarnya.
Pada tahun 2021, bantuan akan menjadi Rp 400.000. “Sejak 2022 naik menjadi Rp 600 ribu sampai sekarang,” imbuhnya.
Saat ini sudah ada 192 guru ngaji di Banjarmasin yang telah menerima bantuan tersebut.
Dihitung dengan kebutuhan hidup di Banjarmasin, nominalnya memang tidak seberapa. Namun menurutnya hal itu patut disyukuri. “Kita tentu berharap ada peningkatan lagi,” harap Tezar.
Jaman Segalanya Mudah, Cuma Kemauan
SYAMSURANI adalah seorang guru honorer di Desa Birayang, Kecamatan Batang Alai Selatan, Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST). Beliau telah mengajar sejak tahun 1987.
Bang Ancu, panggilan akrabnya, rutin mengajar di musala. Kalau di rumah khusus untuk mengajarkan tilawah.
Ia melihat ada perbedaan cara mengajar antara generasi 80-an dengan sekarang.
“Dulu kita hanya mengenal metode ejaan per huruf atau disebut metode Al-Baghdadiyah,” ujarnya kemarin (6/3).
Menurutnya, cara lama sulit dipahami karena kurang menarik. Hal inilah yang menyebabkan mengapa anak-anak pada zaman dahulu lebih lambat belajar melafalkannya.
Bandingkan dengan sekarang yang menggunakan metode Iqra. “Dengan metode ini (Iqra) anak lebih aktif. Bisa belajar sambil bernyanyi untuk mengenal huruf Hijaiyah,” jelasnya.
Faktor lainnya, lembaga pendidikan lebih terorganisir. Di HST telah dibentuk Itqoh dan Badan Komunikasi Remaja Masjid Indonesia (BKPRMI).
Hasilnya, 333 unit TPA telah berdiri di HST. Tersebar di desa-desa dengan jumlah siswa 24 ribu.
“Setiap tahun kami meluluskan tahfiz sekitar 2.400 orang,” ujarnya.
Jadi Syamsurani yakin sekali, kasus 72 persen umat Islam yang tidak bisa mengaji tidak akan terjadi di Barabai. Di kota besar mungkin saja terjadi, tapi tidak untuk HST.
Ratusan TPA juga tidak akan kehabisan murid. Karena mayoritas orang tua HST masih menganggap penting pendidikan agama.
Saat ditanya soal kesejahteraan, ia mendapat insentif Rp 375.000 per bulan dari pemerintah kabupaten. Total ada 1.832 guru ngaji yang dibantu.
Selama 36 tahun memberantas buta huruf Al-Qur’an, Bang Ancu telah mendengarkan berbagai macam keluhan dari anak-anak lintas generasi.
Ia merasa, kini belajar mengaji lebih mudah. Ada ponsel pintar yang bisa membantu merekam dan mengulang pelajaran.
“Dulu perekam itu hanya otak. Jadi hanya orang yang serius ingin belajar Islam yang bisa belajar membaca Alquran,” pungkasnya.
Dengan segala kemudahan tersebut, sebenarnya tidak ada alasan untuk tidak bisa membaca kitab suci. (ris/mof/mal/gr/fud)