Rerumputan segar ditumpuk di samping kerbau rawa dewasa, namun dibiarkan begitu saja. Lalu, ada bayi kerbau yang tergeletak di atas kandang. Mengerang menunggu kematian.
Oleh: WAHYU RAMADHAN, Ammuntai
Pemandangan itu terekam dalam dua klip video yang diperlihatkan Bendahara Pokdarwis Pesona Rawa Sapala, Firdaus. Dokumentasi tersebut diambil saat penyakit misterius menyerang kerbau rawa pada Desember 2021 dan Juli 2022.
“Begitulah kondisi kerbau rawa yang sakit. Saya tidak nafsu makan dan tidak mau berdiri,” ujarnya, Rabu (15/3).
Jika demikian, maka harus disembelih. Dagingnya diserahkan kepada pengepul untuk dijual. “Kalau tipis dan berat dagingnya sedikit, maka harganya akan murah,” ujarnya.
Selama berada di Desa Sapala, tidak sekali pun kedua penulis tersebut mendengar tentang dugaan penyebab wabah tersebut. Bahwa penyakit misterius itu dipicu oleh seismik eksplorasi di Kabupaten Hulu Sungai Utara (HSU).
Beredar informasi, HSU masuk dalam survei dan penelitian PT Pertamina. Survei meliputi Kecamatan Amuntai Selatan dan Utara, Banjang dan Haur Gading.
Untuk mengetahui potensi kandungan gas dan minyak, pada setiap titik dilakukan pengeboran sedalam 30 meter. Survei berlangsung April-Mei 2017 lalu.
Sekali lagi ini hanya dugaan. “Kami tidak punya bukti untuk sampai pada kesimpulan itu,” kata Rahmatullah, penyuluh pertanian dan peternakan di Desa Sapala.
“Sampel juga sudah dibawa ke laboratorium oleh instansi terkait. Tapi, kita tidak pernah tahu hasilnya,” imbuhnya.
Salah satu peternak, Hamidan mengatakan, pihaknya juga sudah melakukan pemboran di wilayahnya.
Firdaus pun membenarkan hal itu. Pengeboran berdekatan dengan kalang hadangan (kandang kerbau rawa) dan daerah yang kaya akan hijauan.
Beberapa bulan kemudian, wabah muncul. “Sekali lagi, kami tidak bisa membuktikan kaitan atau kebetulan itu,” kata Firdaus.
Ada kecemasan di kalangan peternak. Karena kabarnya pengeboran akan digelar lagi tahun ini.
Firdaus mengatakan, beberapa warga menentang pengeboran tersebut. Tapi mereka tidak bisa berbuat banyak. “Seingat saya pernah ada sosialisasi seismik kalau tidak salah tahun 2020,” katanya.
Intinya, mereka menuntut keterbukaan. Penjelasan. Termasuk tes laboratorium untuk mengungkap wabah misterius itu.
“Karena kami hanya mendapat informasi tentang dugaan serangan heartworm,” pungkasnya.
Kemarin (23/3), menjelang waktu berbuka puasa di hari pertama Ramadan, Radar Banjarmasin mendapat penjelasan dari drh I Gusti Putu. Dia adalah Kepala Divisi Kesehatan Masyarakat Veteriner di Dinas Pertanian HSU.
Melalui sambungan telepon, penulis menanyakan alasan meninggalnya ratusan hadangan tersebut.
Dijelaskannya, jika dibandingkan dengan kejadian tahun 2017, jumlah ternak yang sakit pada tahun 2021 dan 2022 tidak terlalu signifikan. “Biasanya. Karena tahun lalu kami kesana untuk vaksinasi PMK. Tidak ada laporan yang signifikan,” katanya.
Putu tahu masyarakat curiga. Menghubungkan pengeboran dengan kerbau rawa yang roboh. Namun, menurutnya jarak waktunya cukup jauh. Hanya kebetulan. “Kami juga sudah mengambil sampel air rawa, dan hasilnya normal,” ujarnya.
Kembali ke tahun 2017, jelasnya, saat itu ada sejenis diare ganas yang menyerang. Bahkan sampai mengikis usus kerbau. Sampel hati dan usus telah diperiksa di Laboratorium Kesehatan Banjarbaru. “Kami juga ingin tahu penyebabnya,” katanya.
Tes laboratorium hanya menunjukkan isi perut yang terkikis dan hangus. Tidak ada penyebab spesifik.
“Kami melihat bahwa penyakit heartworm memainkan peran yang lebih penting. Ditambah dengan diare ganas yang memperburuk kondisi kerbau,” ujarnya. “Cacing hati menyebar ke organ lain. Ketika sampai ke hati, menghasilkan racun clostridium,” jelasnya.
Penjelasan lainnya adalah surra – penyakit yang dapat menyebabkan kerbau atau sapi menderita lemas, demam dan pusing. “Itu yang sedang kami jaga saat ini. Usahanya, memberikan cacing hati dan surra. Namun karena dana kami terbatas, bantuan hanya disalurkan per kelompok,” jelasnya.
Selanjutnya, bantu petani mengasuransikan kerbau rawanya. Meskipun dalam kasus cacing hati asuransi tidak dapat diklaim. Termasuk penyakit misterius itu.
“Premi asuransi dibayarkan per tahun Rp 40 ribu. Seharusnya Rp. 200.000, namun pemerintah memberikan subsidi sebesar Rp. 160.000. Sayangnya masih banyak yang tidak mau ikut,” sesalnya. (lanjutan)