“KAMI bisa melihat ratusan kerbau lumpur (swamp buffalo) berkumpul di satu tempat. Cukup datang ke dia menggunakan perahu kecil,” kata warga Desa Sapala, Hamidan. Menyaksikan bekantan juga sama. Di musim kemarau, monyet hidung panjang berkumpul di jalan desa atau di tepi sungai.
“Didekati, bekantan tidak akan lari. Mimak (jinak) banget,” kata warga lainnya, Ating meyakinkan penulis.
Ating lalu menghidupkan mesin perahu. Mengantar kami dari muara Jenamas, Kabupaten Barito Selatan, Kalimantan Tengah. Yang berbatasan dengan Desa Sapala di Kabupaten Hulu Sungai Utara (HSU).
Gerimis Kamis (16/3) sore itu, membawa kami kembali menyusuri sungai. Melewati tegak.
Sejauh mata memandang, terdapat panorama alam yang menyejukkan mata.
Ini adalah hari terakhir perjalanan kami. Sebelum benar-benar meninggalkan desa, kami diajak makan siang di Posyandu Ikan Patin.
Lauk pauk, potongan kecil hadangan daging sapi. Terus terang, ini pengalaman pertama penulis menikmati beef hash. Rasanya manis.
Dalam acara perpisahan sederhana, rombongan wartawan berkumpul di markas Pokdarwis Pesona Rawa Sapala.
Sebagai juru bicara Pokdarwis, Firdaus senang menerima masukan. Karena perjalanan dua hari itu merupakan uji coba ketika mereka mengantarkan turis nanti.
Satu per satu beri masukan. Semua orang menyetujui beberapa kesimpulan.
Yang pertama, warga perlu memikirkan sejumlah paket wisata, baik itu one day tour atau one day tour. Kemudian nominal yang harus dibayar wisatawan.
Kedua, Pokdarwis setempat juga harus memikirkan tempat menginap. Mengingat tidak ada penginapan atau hotel di desa tersebut.
Solusi sementara, Pokdarwis siap menyediakan tempat. “Dengan menginap di rumah warga. Saat wisatawan datang, kami siap menyambut mereka,” kata Firdaus.
Tentu saja, rumah-rumah penduduk terpilih telah dipilih. Harus memenuhi kriteria, seperti fasilitas mandi, cuci, dan kakus (MCK).
Tak kalah pentingnya, ada koordinasi yang rapi antara warga dan pengendara sepeda motor di Pelabuhan Danau Panggang – pintu masuk Kecamatan Paminggir.
Mengenai keinginan warga desa untuk menghidupkan pacuan kerbau rawa, ada masukan, agar tidak hanya menjual tontonan pacuan saja.
Kearifan lokal harus ditambahkan. Misalnya tradisi Kenduri di Kalang Hadangan (kandang kerbau rawa).
Pesta biasanya diadakan ketika nazar seseorang dikabulkan. “Kami membawa makanan ke Kalang. Baca doa selamat lalu makan bersama,” kata Hamidan.
Mengapa Anda harus berada di sekitar? Jawaban datang dari Firdaus. Katanya, keliling hadangan bukan hanya ternak. Tapi juga investasi sekaligus kebanggaan masyarakat setempat.
“Orang dahulu menjadikan rintangan sebagai hal utama. Hadangan membantu menjawab semua keinginan masyarakat,” ujarnya.
“Untuk membiayai pergi haji dan menyekolahkan anak,” lanjutnya.
“Bahkan banyak sarjana yang dihasilkan dari bisnis ternak ini,” kata Rahmatullah.
Bakda zuhur, kami meninggalkan desa harapan itu. Menyusuri rawa HSU yang luas, kembali ke Dermaga Danau Panggang.
Jika perjalanan kami ke Desa Sapala cukup lancar, akan sedikit berbeda dengan kepulangan kali ini. Raba (tumpukan sampah bambu, batang kayu dan ilalang) menghambat laju kelotok yang kami tumpangi.
Perairan yang kami lintasi seperti labirin. Kami harus berputar-putar hanya untuk menghindari meraba-raba. Melarikan diri dari satu sentuhan, berurusan dengan sentuhan lainnya.
Beruntung, sekitar pukul 16.30, kami akhirnya tiba di dermaga untuk persiapan kembali ke Banjarmasin.
Secara terpisah, Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalsel, Kisworo Dwi Cahyono mengatakan, Paminggir memiliki potensi yang luar biasa. Tidak hanya dari segi ekonomi dan pariwisata, tetapi juga ilmu pengetahuan.
“Laboratorium hidup,” katanya melalui sambungan telepon, Jumat (24/3) malam.
Karena tidak semua provinsi di Indonesia memiliki ekosistem rawa gambut yang cukup lengkap seperti Paminggir.
“Ada kerbau rawa dan sebagainya. Ini layak dipelajari. Kami ingin mendorong pemerintah, bahwa kawasan ini tidak hanya cocok untuk wisata hiburan, tapi juga wisata edukasi,” imbuhnya.
Ya, Kisworo berharap potensi yang ada di daerah juga bisa dikembangkan sebagai tempat penelitian atau penelitian. “Tidak hanya dianggap sebagai lahan tidur, kemudian diolah menjadi kebun sawit,” ujarnya.
Penelitian pendahuluan, dapat meneliti gangguan sentuhan. Ia penasaran, mengapa hambatan lalu lintas transportasi air tak kunjung teratasi.
“Apakah karena–maaf–mayoritas tumbuhan di perairan ini sawit?
Apakah sentuhan bermigrasi dengan sendirinya atau muncul karena ada sesuatu yang memicunya? Saya kira ini menarik dan perlu dipelajari,” pungkas Cak Kis.