SEJAK pertengahan Ramadan, layanan penukaran uang baru bermunculan di sepanjang Jalan Lambung Mangkurat, Banjarmasin Tengah.
Penyedia jasa ini, bisa meraup jutaan rupiah dalam sehari. Senin (17/4), tumpukan uang baru pecahan Rp. 2.000 menjadi Rp. 100.000 isi jok motor Daus, 53 tahun.
Agar tidak terkena debu jalanan dan keringat, uang dibungkus dengan plastik transparan. “Saya membawa sekitar Rp. 30 juta. Semua uang baru. Masih wangi, bau kertas bank,” usulnya. Panas terik tak menyurutkan semangat Daus untuk melambai-lambaikan uang baru pada setiap pengendara yang melintas. Bulan Ramadan selalu dinantikan Daus. Tukar menukar ini sudah ia lakukan. pelayanan selama 10 tahun terakhir.
“Dulu paling banyak tiga sampai lima orang. Sekarang pesaingnya banyak,” kekehnya. Daus mengaku hanya sebagai bawahan, pesuruh. Dia masih punya bos, pemilik modal. Maklum, bisnis ini membutuhkan banyak modal.
“Saya ambil sekian persen dari uang yang dijual,” terang warga Jalan Sutoyo S, Banjarmasin Barat itu. Di warung tersebut, tarif jasa penukaran uang lama dengan uang baru bervariasi. Kalau ditukar ratusan ribu, dia minta Rp. 25 ribu.
“Paling tinggi Rp 50.000, kalau tukar sampai Rp 5 juta ke atas,” ujarnya. Di penghujung tahun 2022, Bank Indonesia (BI) menerbitkan uang rupiah cetak baru. Ukuran lebih kecil, lebih berwarna. Menurutnya, hal itu membuat bisnis ini semakin menggeliat.
Tak jauh dari tempat nongkrong Daus, tepat di seberang gedung DPRD Kalsel, banyak orang yang mengantre untuk menukarkan uang baru di loket resmi BI.
Kita tahu, BI tidak memungut biaya alias gratis. Berbeda dengan Daus dan rekan-rekannya. Namun, Daus tetap percaya bahwa tidak semua orang memiliki waktu luang. “Apalagi mengantre sampai panas. Padahal lewat kita bisa lebih simpel dan cepat,” ujarnya.
Bahkan, bukan hanya tarif, sebagian warga enggan menggunakan jasa penukaran uang karena khawatir dengan praktik riba. Merujuk pada fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI). Daus enggan disebut makan riba. Karena sebelum ada pertukaran, ada kontrak yang jelas. “Uangnya tidak saya kurangi. Saya hanya membantu warga agar tidak antre di panas-panasan,” ujarnya. Daus tidak sendiri, ada puluhan orang seperti dia di Jalan Lambung Mangkurat.
Dia mengatakan, pada H-3 Lebaran, jumlah transaksi akan lebih banyak. Tahun lalu, ia pernah membelanjakan Rp. 40 juta sehari. “Dulu rata-rata hanya Rp 10 juta sampai Rp 15 juta sehari,” jelasnya.
Tentu tak selalu mulus, Daus dan kawan-kawan menganggap Satpol PP sebagai “musuh bersama”. Menghadapi penegak hukum, Daus lebih memilih menjauh.
“Begitu mobil patroli terlihat dari jauh, tinggal nyalakan motor dan jalan,” pungkasnya.