BANJARMASIN, klikkalsel.com – Mungkin sebagian masyarakat di Kalimantan Selatan (Kalsel) tidak tahu sejak kapan pemerintah daerah mulai membangun infrastruktur di sekitar sungai di Kota Banjarmasin dan memungut tarif yang harus dibayar.
Hal itu diungkapkan Ketua LKS2B Kalimantan Mansyur yang juga Dosen Sejarah Universitas Lambung Mangkurat (ULM). Pembangunan infrastruktur di Kota Banjarmasin telah dimulai sejak zaman Hindia Belanda.
Tepatnya pada tahun 1898 saat pengangkatan seorang Residen yang berdomisili di Banjarmasin yaitu CA Kroesen. Apalagi setelah Banjarmasin berubah status menjadi Gemeente Raad pada 1919,” kata Mansyur, Sabtu (7/1/2022).
Status ini menandai pemberian otonomi pertama kepada masyarakat kulit putih di kota Banjarmasin yang tercatat dalam Lembaran Negara Hindia Belanda tahun 1919 nomor 252, tertanggal 1 Juli 1919.
“Perkembangan modernisasi kota Banjarmasin dengan pusat perkantoran, bank, perusahaan Belanda, gereja, jalan desa Belanda, pasar, alun-alun, sungai dengan jembatan ganda,” imbuhnya.
Selain itu juga dibangun fasilitas pendidikan untuk anak kulit putih, rekreasi kulit putih, kebersihan kota, penerangan, air minum dan sebagainya, seperti yang terlihat di jalan-jalan kampung Belanda (Resident de Haanweg).
Hingga kemudian pembangunan infrastruktur semakin meningkat setelah Banjarmasin menjadi ibu kota Kalimantan pada tahun 1938. Kalimantan menjadi Gubernur Kalimantan yang terdiri dari Karesidenan Kalimantan Barat, Selatan dan Timur yang beribukotakan Banjarmasin dengan Gubernur A. Haga. Gemeente Banjarmasin ditingkatkan menjadi Stads Gemeente Banjarmasin.
Lebih lanjut, kata Mansyur, masih terkait dengan infrastruktur Kota Banjarmasin, dalam beberapa sumber foto yang dirilis KITLV terlihat beberapa jembatan yang disebut “Ophaal brug”.
Jembatan itu bisa diangkat jika perahu akan lewat di pedalaman. Salah satu sumber foto adalah tentang pesta pembukaan penggunaan Jembatan Ringkap pada tahun 1914.
“Jembatan itu bernama Jembatan Coen (Kun). Sekarang lokasinya ada di kawasan Jembatan Dewi,” ujarnya.
“Bagi warga Banjarmasin, ini unik karena merupakan jembatan terpanjang pertama di kawasan ini yang menghubungkan kawasan Pulau Tatas dengan hulu sungai,” lanjutnya.
Baca Juga : Sejarah Berdirinya Kabupaten Tabalong 1 Desember 1965
Baca juga: Sejarah Stadion 17 Mei, Dibangun di Lapangan Bekas Sungai
Di foto lainnya, lanjut Mansyur, juga terdapat jembatan gantung di pintu masuk kanal yang menghubungkan sungai Martapura dengan sungai Barito di Kuin Banjarmasin sebelum tahun 1944.
Fenomena ini terekam jelas dalam tulisan Bambang Subiyakto dalam Infrastruktur Pelayaran Sungai Banjarmasin 1900-1970, ujarnya lagi.
Dalam Freek Colombijn et.al. (eds.), Kota Lama, Kota Baru sama dengan History of Cities in Indonesia yang saat itu diterbitkan di Yogyakarta oleh Ombak dan Netherlands Institute for War Documentation, yang diterbitkan pada tahun 2005.
Menurut Bambang, Anjir, Handil dan Saka tentang transportasi, sarana yang digunakan adalah perahu kecil atau jukung (perahu) berbagai jenis (Sudur, Bakapih, Anak Rimpang, Pelanjaan, Tambangan, Pandan Liris, Batambit, Bugiwas, Tiung, Hayawan, Kelotok, Patai, Rangkan, Getek, Undaan, Parahan, Paiwakan, Katinting, Peramuan dan Serdangan) dan Lanting (rakit yang terbuat dari bambu),” jelasnya.
Tujuannya, kata Mansyur, cukup beragam untuk berbagai kegiatan. Seperti pertanian, perikanan, perdagangan, angkutan barang, angkutan orang, pelayaran dan rekreasi baik untuk jarak dekat maupun jauh.
“Lalu, bagaimana dengan dinamika tarif tol sungai?” seru Mansyur.
Bambang berpendapat, mengutip Vergouwen dan Mallinckrodt, bahwa dalam menguasai saluran air (khususnya sungai, Anjir dan Handil) ada beberapa orang (Bubuhan atau perkumpulan) yang berada di bawah kekuasaan kapal, misalnya mengenakan tarif tol sebesar 1 sampai 10 hasil hutan, pertanian dan sejenisnya,” imbuhnya.
Hasil penjualannya, menurut aturan adat, diperuntukkan untuk biaya pemeliharaan hutan dan saluran air. Meskipun demikian, seperti yang ditunjukkan Vergouwen, hasilnya lebih merupakan pendapatan bagi kepala asosiasi yang berwenang.
Namun, sejak era kemerdekaan, bahkan menjelang berakhirnya Pemerintahan Kolonial Belanda, pungutan tarif tol nampaknya sudah dihapuskan.
“Terutama yang dimaksud dengan penarikan oleh kepala perkebunan atau kelompok masyarakat,” ujarnya.
Rute seperti itu di dalam Kota Banjarmasin sudah menjadi rute umum. Saluran air sepenuhnya di bawah kendali pemerintah. Rute yang sangat penting seperti sungai dan Anjir dikenakan retribusi.
Karena itu, pada masa Kolonial Belanda, mereka yang menggunakan jukung, perahu atau kapal untuk menambang harus memiliki izin.
Hal itu berdasarkan ketentuan tentang menjalankan usaha pertambangan (Bepalingen op de uitoefening van het Tanba-nganbedriif) tahun 1941 dalam pasal 6 ayat a disebutkan.
“Dilarang menjalankan profesi sebagai penambang (tambang) di ibu kota dan daerah tanpa izin tertulis dari kepala daerah setempat. Permohonan izin akan ditolak, kecuali dengan alasan yang berkaitan dengan kepentingan umum, di mana penolakan itu menyebutkan apa kepentingan umum itu,” jelasnya.
Lebih lanjut dijelaskan Mansyur menurut Bambang, Pasal 6 ayat C mewajibkan penambang yang perahunya berlabuh di depan rumah, gudang, pabrik atau pekarangan, wajib memberi tempat kepada perahu lain yang akan digunakan oleh pemilik, penyewa atau pengguna bangunan. atau pekarangan. untuk memuat atau membongkar barang.
Dalam huruf D diberlakukan ketentuan bagi penambang yang perahunya terletak berderet dengan perahu lain untuk memberikan izin kepada perahu yang berada di sampingnya.
Sedangkan alinea E menyebutkan papan penghubung tambang dengan dermaga milik kapal tidak boleh menjorok jauh ke jalur umum yang dapat mengganggu lalu lintas.
“Dalam dinamikanya, pengendalian dan pembalasan dilakukan oleh pemerintah. Pada masa pemerintahan Kolonial Belanda, berdasarkan ketentuan pengusahaan pertambangan tahun 1941, sedangkan pada masa kemerdekaan misalnya, tertuang dalam Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Nomor 5 tanggal 24 Juli 1953 tentang lalu lintas dan pemungutan retribusi lalu lintas di kanal-kanal yang dikuasai Provinsi Kalimantan,” jelas Mansyur lagi.
Kemudian, kata Mansyur, setiap saluran air menjadi tempat pemusatan penduduk atau menjadi pemukiman.
Permukiman dibangun dalam bentuk rumah panggung tepat di tepi sungai atau Anjir, dan ada beberapa rumah yang tiangnya berada di dalam air. Dalam hal serupa, juga dibangun sarana ibadah seperti masjid atau langgar.
Beberapa diantaranya berupa rumah lanting yaitu rumah kecil yang dibangun di atas kayu gelondongan yang terapung di air, ada yang sebagai tempat tinggal, tempat berjualan, tempat mandi, cuci, kakus (kakus) yang terkadang juga berfungsi sebagai dermaga untuk jukung, perahu atau kapal sungai yang ditambatkan dan ditambatkan.
“Yang terakhir ini juga sebagai tempat bongkar muat barang ke perahu, perahu atau kapal laut serta tempat orang melakukan transaksi jual beli dengan pedagang yang ramai,” pungkasnya. (airlangga)
Editor: Abadi