Bandung, NU Online Jawa Barat
Imam Ahmad bin Muhammad bin al-Mukhtar bin Ahmad ash-Sharif Abul Abbas at-Tijani atau lebih dikenal dengan Imam Ahmad at-Tijani adalah seorang ulama yang dikenal umat Islam di Indonesia. Beliau adalah pendiri Tarekat Tijaniyah yang merupakan salah satu Tarekat Muktabarah Indonesia atau yang diakui legitimasinya.
Imam Ahmad at-Tijani lahir di kota Maghrib pada tahun 1150 H/1737 M dan wafat di Fez Maroko pada tahun 1230 H/1815 M. Beliau adalah seorang ulama yang dikenal dengan pemahamannya yang sangat luas tentang ilmu fikih, sehingga tidak mengherankan jika gelar al-faqih dianugerahkan pada namanya.
Tidak banyak diketahui bahwa ia juga seorang ulama terkenal sebagai penulis dan penyusun doa-doa kepada Nabi Muhammad. Salah satu karyanya dalam bidang ini adalah Sholawat Jauharatul Kamal.
Berikut bacaan Sholawat Arab, Latin dan Terjemahan Sholawat Jauharatul Kamal Syekh At-Tijani
Ya Allah, semoga Tuhan memberkatimu ا يَعْدِلُ سَلَامَهُمْ
Allahumma halli’ala sayyidina muhammadin wa’alaalihi namaz ta’dilu jami’a shalawati mahabbatika ahli wa sallim ‘ala sayyidina muhammadin wa’alaalihi selamatan ya’dilu salamahum
Yang artinya: “Ya Allah, berilah rahmat kepada junjungan kami Nabi Muhammad dan keluarganya, berupa shalawat (rahmat) yang setara dengan semua shalawat orang-orang yang mencintai-Mu, dan (berikan) keamanan kepada junjungan kami Nabi Muhammad, dan para pengikutnya. keluarga, dalam bentuk keselamatan yang setara dengan keselamatan mereka.”
Sejarah dan prioritas
Shalawat Jauharul Kamal pada hakikatnya tidak memiliki sejarah yang serius dan khusus, sebenarnya shalawat ini bukanlah shalawat murni yang ditulis dan digubah oleh Imam Abul Abbas at-Tijani, melainkan bacaan dikte yang diturunkan kepadanya oleh Rasulullah.
Menurut sejarahnya, ia tidak hanya bisa bertemu Nabi saat tidur (mimpi), tapi juga sering didatangi saat terjaga (yaqzhah). Bahkan, di mana dia sendirian (khalwah), dia juga sangat sering bersama Nabi.
Kedekatan ini akhirnya menjadi alasan shalawat Jauharatul Kamal. Pada suatu kesempatan, Nabi mengajarinya doa ini secara langsung dan nyata, dan bukan dalam mimpi, seperti yang dijelaskan Syekh Yusuf an-Nabhani,
هَذِهِ Allah ى جَوْهَرَةَ الْكَمَالِ. Dan
Artinya: “Doa ini milik wali besar, Sayyid Abul Abbas Ahmad at-Tijani, yang dikenal sebagai Jauharatul Kamal. Dan memang disebutkan bahwa Nabi Muhammad mendiktekannya kepadanya (at-Tijani) ketika dia bangun.” (Yusuf an-Nabhani, Sa’adatud Darayn fis Shalati ‘ala Sayyidil Kawnayni, [Beirut, Darul Kutub al-‘Ilmiah: 2010]halaman 43).
Keutamaan Shalawat Jauharatul Kamal
Seperti diketahui, orang yang membaca shalawat akan mendapat pahala tertentu dari Allah, mereka bisa mendapat syafaat dari Nabi, termasuk shalawat Jauharatul Kamal di atas. Namun shalawat ini juga memiliki keistimewaan dan keutamaan selain dari yang telah disebutkan, bahkan keistimewaan ini pun disebutkan langsung oleh Nabi, sebagaimana dijelaskan oleh Syekh Yusuf an-Nabhani dalam kitabnya,
Amin َّبِي وَالْخُلَفَاءُ الْأَرْبَعَةُ. وَمِنْهَا: أَنَّ مَنْ لَازِمَهَا أَزْيَدَ مِنْ سَبْعَّ مَنْ لَازِمَهَا اَزْيَدَ مِنْ سَبْعَ مَب ْعَ مَبعَبعَ مَبْعَ مَبْعَّهَا
Artinya : Shalawat (shalawat Jauharatul Kamal) konon memiliki beberapa ciri, antara lain: barang siapa membacanya 7 kali atau lebih, maka ruh Nabi Muhammad SAW dan keempat Khulafaur Rasyidun (Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali) akan hadir didalamnya. Lebih satu keistimewaannya, yaitu: barangsiapa membiasakan (membacanya) lebih dari 7 kali, maka Nabi akan mencintainya dengan cinta yang istimewa, dan tidak akan mati sampai menjadi bagian dari para wali (pecinta) Allah.(Yusuf an -Nabhani, 43).
Dalam referensi lain, Syekh Shalahuddin mengatakan bahwa shalat singkat ini memiliki keistimewaan yang unggul dan pahalanya setara dengan membaca shalawat Dalalilul Khairat sebanyak 70 ribu, bahkan lebih dari itu. Dia berkata:
dan ِلَ الْخَيْرَاتِ سَبْعِيْنَ أَ Tentang Allah
Artinya: “Sholat ini, siapa yang sholat bersamanya satu kali, sebanding dengan membaca Dalalilul Khairat sebanyak 70 ribu kali, yaitu: Allahumma hali’ ala sayyidina muhammadin…” (Syekh Saladin, Kasyful Ghuyum ‘an Ba’di Asraril Qutbil Maktum, [Darut Taisir: 1999]halaman 407).