DRAF Tua ini sebenarnya diperkenalkan oleh para arsitek dan ahli tata kota Hindia Belanda; Herman Thomas Carsten. Lulus dari Technische Hoogeschool di Delf, Belanda pada tahun 1914 atas undangan Maclain Pont (Biro Arsitek Semarang sejak 1913), Karsten kemudian berangkat ke Indonesia (Hindia Belanda).
Ia terlibat dalam perencanaan Koloniale Tentonsteling (1916) yang menjadikannya penasehat pembangunan kota Semarang. Pada tahun 1917, bersama Lutjens dan Toussaint, ia mendirikan Biro Arsitek dan Perencana Kota. Karsten membaca berbagai literatur, termasuk HP Berlage saat merencanakan perluasan kota Amsterdam dan Den Haag.
Ada pula, Granpre Moliere yang diketahui merencanakan taman pinggiran kota Vreewijk di Rotterdam. Kemudian, P. Fockem Andrew berjudul De Hedendaagsche Stedebouw (Perencanaan Kota Modern 1912) yang berisi tentang permasalahan tata kota dan perumahan di Belanda.
Beberapa literatur lain yang dirujuk Karsten berasal dari Jerman. Di antaranya, Camillo Sitte (1889), J Stubben (1890), Raymond Unwin (1919), karya Ebendtadt (1909) berjudul Handbuch Des Wohnungswesens Und derWohnung sfrege dan Stadtebau und Wuhnungswesen di Belanda (1914).
Keterlibatan Karsten dalam perencanaan Kolonial Tentonsteling di Semarang, pada tahun 1920 Karsten membuat proposal dan laporan untuk Kongres Desentralisasi bertajuk ‘Indiesce Stedebouw’ yang berisi usulan kepada pemerintah pusat agar kota-kota di Indonesia (Hindia Belanda) tumbuh subur direncanakan terlebih dahulu dalam rencana kota.
Termasuk dalam 12 dari 19 kotamadya di Jawa pada masa Kolonial Belanda, yang harus digarap oleh Karsten. Tugas ini dilakukan oleh Karsten pada tahun 1915-1941 untuk merancang rencana atau tata kota 3 dari 9 kota di Sumatera. Sedangkan Banjarmasin merupakan satu-satunya kota di Kalimantan (Kalimantan) yang juga dirancang oleh Karsten.
Peninggalan Karsten yang tersisa dalam konsep Garden City adalah sistem kanalisasi di Banjarmasin. Terdiri dari 10 kanal yang dibangun Belanda pada tahun 1770-1945. Yakni, Kanal Sutoyo S (Teluk Dalam), Kanal Veteran, Kanal Raden (Raden Antasan), Kanal A Yani, Kanal Pirih, Kanal Benteng Tatas (Sungai Tatas/Masjid Sabilal Muhtadin Raya), Kanal Pangambangan, Kanal Agung (Jalan Anyar Mulawarman/ Jalan Jafri Zamzam), Kanal Awang dan Kanal Bilu. Kanal-kanal ini juga terhubung dengan Sungai Barito dan Sungai Martapura.
Konsep jalan yang dibelah sungai (kanal) akan diterapkan di kawasan Jalan Veteran Banjarmasin. (Foto Dokumentasi JR)
Sebelumnya, pakar kota pensiunan Dinas Permukiman dan Prasarana Wilayah (PUPR) Kalsel, Bachtiar Noor Grad.Dip mengatakan, sistem kanalisasi, khususnya jalan yang mengapit kanal atau sungai, merupakan konsep lama dari Thomas Karsten. Ahli planologi lulusan Belgia dan Australia ini mengatakan, sebenarnya tidak hanya Jalan Veteran, namun ruas Jalan A Yani juga didesain dengan tiga jalur yang dipisahkan oleh sungai.
Bahkan pada masa Walikota Effendi Ritonga (1984-1989) ia juga mendasarkan cetak biru yang dirancang Thomas Karsten dalam menghiasi ibu kota Provinsi Kalimantan Selatan saat itu. Berlatar belakang korps teknik (teknik) militer Akademi Militer (Akmil) Magelang, Effendi mempelajari kembali konsep urban design ala Thomas Karsten.
Tercetuslah gagasan Ritonga untuk menghidupkan kembali sungai-sungai di Banjarmasin sebagai urat nadi pemerintahan lima tahun 1984-1989. Hal ini dikarenakan kondisi Banjarmasin yang berada di bawah laut tentunya akan terpengaruh oleh pasang surut air laut, sehingga program kanalisasi atau penjangkaran menjadi pilihan. Hal ini sejalan dengan konsep Belanda ketika mengelola Batavia dengan program Kanal Banjir Timur dan Barat di Jakarta.
Akademisi Tata Kota Fakultas Teknik Uniska MAB, Adhi Surya Said mengatakan, konsep kanalisasi merupakan solusi yang tepat dalam mengatasi ancaman banjir di Banjarmasin.
Kondisi banjir akibat luapan Sungai Martapura yang melanda pemukiman penduduk di Kota Banjarmasin pada zaman Kolonial Belanda. (foto KITLV Leiden)
“Dari penelitian, sebenarnya ada lima jenis kanal yang berkembang pada zaman Belanda di Banjarmasin. Jenis kanal yang banyak itu berupa saluran air yang terhubung dengan Sungai Barito dan Sungai Martapura sebagai aliran utama sungai kecil. sungai atau dikenal dengan antasan, anjir, handil dan saka. Sedangkan kanal lain yang dibuat oleh Belanda menyangkut ketersediaan air bagi warga kota,” kata Adhi Surya Said.
Ahli planologi jebolan Institut Teknologi Bandung (ITB) itu mengaku banyak faktor yang menyebabkan banyak kanal mati. Termasuk, tumbuhnya pemukiman manusia di bantaran sungai atau kanal, baik buatan maupun alami.
“Makanya, banyak cerita bahwa sungai-sungai di Banjarmasin sejak zaman Belanda hingga tahun 1970-an atau 1980-an bisa dilalui kapal-kapal besar dan masih banyak transaksi di bantaran sungai. Generasi sekarang mungkin tidak akan bisa melihat itu,” imbuh anggota Perhimpunan Ahli Teknik Konstruksi Indonesia (Hatsindo) itu.
Menurut Adhi Surya Said, transformasi arsitektur atau tata kota yang lebih mengedepankan aspek tanah, ketimbang kembali ke dasar sungai sangat menentukan dan membuat Banjarmasin seolah dikepung banjir, saat curah hujan tinggi