Bandung –
Yadi Supriyadi konsisten menjaga kelestarian Sungai Cikapundung selama belasan tahun. Selama ia terlibat dan melakukan gerakan bersih sungai bersama masyarakatnya, tak terhitung banyaknya sampah yang terangkut dari sungai sepanjang 28 kilometer itu.
Meski kondisinya kini terjaga, apalagi setelah masuknya program Taman Teras Cikapundung yang diinisiasi BBWS Citarum pada 2017 lalu, Yadi juga menyaksikan perubahan sungai yang signifikan. Dikatakannya, sebelum tahun 2001, Sungai Cikapundung masih dapat dirasakan warga, baik untuk kebutuhan sanitasi maupun untuk kegiatan lain yang memanfaatkan sungai.
“Dulu tahun 2000, kondisi Sungai Cikapundung baik di hulu, tengah, maupun di hilir masih terlihat alami. Kualitas airnya masih bagus, kondisi lingkungannya juga masih alami, tidak seperti sekarang. Perubahan yang saya rasakan mulai tahun 2001 ,” ujar Yadi kepada detikjabar belum lama ini.
Faktor terbesar yang dirasakan Yadi berkaitan dengan kondisi Sungai Cikapundung, yakni peningkatan jumlah penduduk, terutama yang mendirikan bangunan di bantaran sungai. Yang disesalkan Yadi adalah mereka yang tinggal di sana malah tidak menjaga sungai.
Banyak sampah yang kemudian dibuang warga ke sungai. Selain itu, saat itu warga masih menganggap sungai sebagai tempat pembuangan limbah rumah tangga atau bahan baku lainnya. Akibatnya, Sungai Cikapundung menjadi tercemar dan tidak sealami dulu.
“Itulah perubahannya, mulai dari kualitas air, kondisi sungai, tata letak sungai, penduduknya, mulai berubah. Dan anehnya malah makin cuek ke sungai. Dulu sungai ini bisa untuk berenang juga untuk sanitasi warga, tapi sejak 2001 sudah tidak bisa digunakan lagi,” ujarnya.
Kualitas air di Sungai Cikapundung semakin parah ketika ada 2 proyek yang dilakukan di daerah hulu sungai. Yakni proyek Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) hingga proyek dari PDAM Tirtawening, Kota Bandung. Kedua proyek tersebut, kata Yadi, setidaknya turut mengubah kondisi Sungai Cikapundung.
Kondisi Sungai Cikapundung semakin diperparah ketika Citarum dicap sebagai sungai terkotor di dunia. Faktor inilah yang membuat Yadi berkomitmen selama 14 tahun menjaga aliran sungai di Kota Bandung.
Terakhir, selain sebagai tempat pembuangan limbah, Sungai Cikapundung saat itu juga mengalami pendangkalan. Bantaran sungai yang menurut Yadi merupakan pepohonan rindang, kemudian dibabat dan dibangun pemukiman oleh warga.
“Sungai Cikapundung tidak memiliki DAM cek yang cukup besar, padahal fungsinya untuk menampung sedimen agar bisa dibuang. Akibatnya, sedimentasi tidak bisa dicegah. Kemudian bahan baku dari PLTA dibuang. Sampah di sini. PDAM juga menggunakan bahan baku yang sama dari Cikapundung, limbahnya juga dibuang ke sungai,” kata Yadi.
“Sekarang ini akan menambah sedimentasi di hilir dan di tengah kawasan sungai. Itu yang membuat Cikapundung sulit menjadi tempat wisata karena itu. Pertama, debit air akan terus berkurang dari tahun ke tahun, karena sumber air baku PDAM kebutuhan air berasal dari sini.Kemudian diolah lagi di hulu sungai dan PLTA.Ditambah populasi manusia yang terus meningkat dari tahun ke tahun.Akhirnya menyempitnya sempadan sungai sudah pasti,karena jumlah penduduk yang bertambah maka tanah tidak ada, ujungnya dekat sungai. Padahal itu jelas melanggar aturan, kan? Mungkin,” ujarnya.
Meski begitu, Yadi dan masyarakat tetap berkomitmen menjaga kelestarian Sungai Cikapundung agar tetap eksis dan dapat dinikmati oleh anak cucu kelak. Bagi Yadi, menjaga sungai berarti menjaga lingkungan yang juga ciptaan Tuhan Yang Maha Esa.
“Sejak saya turun mencoba air miropea (menjaga Sungai Cikapundung), saya ingin sungai menjadi tempat aktivitas masyarakat kembali. Karena bagi saya, setelah berinteraksi dengan sungai akan muncul peradaban, baik aktivitas maupun pemanfaatannya. Dan alam juga akan memberikan kontribusi jika kita benar-benar menjaganya,” pungkasnya.
(ral/mso)