BANJARMASIN, klikkalsel.com – Selama tahun 2022, perkara perceraian warga Kota Banjarmasin yang diterima di Pengadilan Agama IA Banjarmasin lebih sedikit dibandingkan tahun 2021.
Hal ini terlihat dari data yang diterima klikkalsel.com pada tahun 2022 terdapat 1.420 kasus perceraian yang terdiri dari 1.128 gugatan (dari perempuan) dan 292 kasus cerai (dari laki-laki).
Sedangkan pada tahun 2021, terdapat 1.548 perkara yang diterima, yang juga terdiri dari 316 perkara perceraian dan 1.232 gugatan cerai.
Kemudian, pada tahun 2021, sebanyak 1.435 perkara dikabulkan, terdiri dari 292 perkara cerai dan 1.143 gugatan cerai.
Data perkara cerai yang dikabulkan selama tahun 2022 sebanyak 1.213 perkara, meliputi 233 perkara cerai dan 980 gugatan cerai.
Humas Pengadilan Agama IA Banjarmasin, Drs H Fathurrohman Ghozalie menjelaskan, dari data yang ada perbedaannya tidak terlalu signifikan.
“Perbandingan ini cenderung dipengaruhi oleh kondisi ekonomi atau keuangan masyarakat, karena mereka tahu bahwa berperkara membutuhkan biaya,” ujarnya kepada media ini, Rabu (18/1/2023).
“Padahal sebenarnya pemerintah dalam hal ini Mahkamah Agung telah memberikan cara berperkara tanpa dipungut biaya atau gratis,” lanjutnya.
Baca Juga: Inspiratif, Wakapolres Banjarmasin Lunasi Hutang dan Biayai Kehidupan Janda Isoman
Baca juga: Kepergok Ngobrol dengan Wanita Lain, Pria Asal Tabalong Ini Malah Melakukan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Namun menurutnya, masih banyak masyarakat pada umumnya yang belum mengetahui atau paham betul bagaimana cara mengajukan perkara atau mengajukan cerai tanpa dakwaan.
Meski begitu, selain faktor ekonomi dalam kasus perceraian, pada umumnya perilaku baik seperti Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), lebih banyak faktor sebab akibat.
“Akibat yang timbul adalah pertengkaran terus menerus yang berujung pada perceraian,” jelasnya.
Pasalnya, dari segi faktor penentu, kata Drs H Fathurrohman Ghozalie, pihaknya terbiasa mengacu pada Undang-Undang.
“Di sini kita dalam menentukan faktor penyebab perceraian, biasanya merujuk pada Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah nomor 9 tahun 1975 pasal 19 sebagai faktor penyebab,” ujarnya.
Tidak hanya itu, ada juga faktor lain seperti salah satu pihak yang digugat telah dijatuhi hukuman penjara. Seperti dalam pasal 19 huruf c.
“Itu, kalau dihukum penjara lebih dari lima tahun. Itu sudah bisa dijadikan faktor,” jelasnya.
Selanjutnya terkait dengan usia yang sering melakukan perceraian. Drs H Fathurrohman Ghozalie menegaskan, sebagian besar bervariasi dan tidak ada perceraian yang dominan.
“Kebanyakan usianya antara 20 sampai 40 tahun. Itu yang banyak mendominasi,” tutupnya. (airlangga),
Editor: Abadi