KEPALA desa seluruh Indonesia yang tergabung dalam Persatuan Perangkat Desa Seluruh Indonesia (PAPDESI) berdemonstrasi di DPR RI, Jakarta. Mereka meminta masa jabatan dinaikkan dari 6 tahun menjadi 9 tahun per periode.
Oleh: KADARISMAN
Presidium Majelis Daerah KAHMI Tabalong
Mereka ingin menguasai desa lebih lama, menikmati pengelolaan dana desa yang cukup besar. Sayangnya kepala desa tidak jantan. Dia yang minta posisi, tapi rakyat yang dikambinghitamkan. Dia yang berdemonstrasi, tetapi orang-orang digunakan sebagai bumper. Dalihnya adalah aspirasi rakyat, tapi itu bohong!
Rakyat tidak hanya dikorbankan untuk melegalkan ambisi kepala desa akan kekuasaan, tetapi rakyat justru ditelantarkan. Tugas kepala desa yang seharusnya mengurus kepentingan masyarakat desa malah mengurusi nafsu kekuasaan di Jakarta untuk jabatan yang masa jabatannya jauh melebihi bupati, gubernur bahkan presiden di negeri ini. .
Kemunduran nalar berpikir terkadang tidak disadari karena tertutup oleh keasyikan kepentingan politik praktis. Tidak ada satu desa pun yang masyarakatnya turun ke jalan meminta jabatan kepala desa diperpanjang. Namun, kepala desa yang lancang bertindak atas nama aspirasi masyarakat. Ini adalah pertama kalinya omong kosong terbesar seperti itu terjadi di negara ini dari kepala desa.
Padahal, sangat tidak layak mempercayai orang yang mengemis jabatan seperti yang dilakukan kepala desa. Praktik-praktik tersebut selain menyalahkan fatsun dan etika politik juga merusak semangat demokrasi di pemerintahan desa.
Upaya mewujudkan jabatan kepala desa 9 tahun jelas merupakan kemunduran dalam memperlakukan kedaulatan masyarakat desa.
Rasulullah Muhammad SAW menekankan kepada mereka yang berorientasi pada meminta posisi seperti itu. “Wahai Abdurrahman, janganlah meminta jabatan pimpinan. Karena jika kamu diberikan karena kamu memintanya, tentu akan dibebankan kepadamu, dan tidak akan ditolong oleh Allah. Tetapi jika diberikan kepadamu tanpa meminta itu, pasti kamu akan ditolong oleh Allah,” kata nabi sebagaimana diriwayatkan oleh Muslim.
Rasul juga pernah bercerita kepada Abu Musa yang meminta Nabi diangkat sebagai salah satu pemimpin di suatu daerah tertentu. Maka Rasul berkata, “Demi Allah, sesungguhnya kami tidak akan memberikan kedudukan kepada orang yang meminta dan yang tamak akan hal itu.” Hadits diriwayatkan oleh Muslim.
Tuntutan 9 tahun sebagai kepala desa adalah simbol keserakahan. Alasannya, kades sudah diberi masa jabatan 6 tahun dikalikan 3 periode, masa jabatan yang paling lama dibandingkan dengan jabatan yang diberikan orang lain, namun mereka tetap meminta lebih. Memalukan!
Mereka melanggar etika dan tata krama publik sehingga aktivitas normatif yang melekat pada hak mereka sebagai kepala desa juga distigmatisasi oleh masyarakat. Egoisme psikologis kekuasaan di mana semua tindakan manusia dimotivasi oleh kepentingan melayani diri sendiri. Itu yang mencuat setelah mereka demo ke parlemen.
Kepala desa saat ini sering melakukan blunder dalam melaksanakan pembangunan masyarakat desa. Apalagi sejak terbentuknya APDESI, kepala desa seringkali terseret dalam kepentingan politik praktis elite kekuasaan di tingkat kabupaten, provinsi, dan nasional.
Saya yakin tuntutan 9 tahun masa jabatan kepala desa ini tidak dimulai dari ruang hampa. Fenomena absurd ini berkaitan dengan kekuasaan dan deklarasi presiden 3 periode oleh APDESI, organisasi sejenis PAPDESI tahun 2022, namun digagalkan oleh rakyat.
Keterlibatan kepala desa dalam politik praktis merupakan perbuatan melawan hukum, namun pemerintah bergeming dan membiarkannya karena memiliki keunggulan kekuasaan, seperti pencanangan presiden 3 periode tahun lalu sebagai bagian dari tujuan yang sama dengan masa jabatan kepala desa saat ini 9 tahun.
Skenario unjuk rasa kepala desa di Senayan ternyata tidak menanjak. Adanya campur tangan dari pihak lain yang melakukan mobilisasi sedemikian rupa. Sejalan dengan itu DPR RI merespon dengan cepat dan positif, beberapa fraksi menyetujui.
Politisi PDIP Budiman Sudjatmiko bahkan mengklaim sudah disetujui Presiden Joko Widodo. Sikap pemerintah berjalan beriringan. Pemerintah memberi isyarat kepada DPR untuk menerima revisi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dilaksanakan.
Kepala desa digambarkan sebagai mainan elit penguasa strategis untuk mempertahankan kekuasaan dengan melanggar asas dan prinsip demokratisasi. Meski masih banyak kepala desa yang belum memahami permainan tersebut, namun mereka juga menanggung beban moral yang tidak ringan.
Perlu diingat bahwa di desa jabatan kepala desa tidak mewakili masyarakat desa. Justru yang punya perwakilan warga desa ada di BPD. Sebagaimana pasal 32 Permendagri 110/2016 menegaskan fungsi BPD sebagai penggali aspirasi masyarakat, penampung aspirasi masyarakat dan pengelola aspirasi masyarakat.
Kades sama sekali tidak diberi mandat oleh masyarakat, apalagi meminta masa jabatan kades dinaikkan menjadi 9 tahun. Kepala desa hanya diberikan amanah agar mereka sebagai warga mendapatkan kepastian penyelenggaraan dan pelayanan yang baik, kesejahteraan mereka meningkat sesuai dengan tugas pokok dan fungsi kepala desa. Bukannya dia sibuk menjalani masa jabatan dengan berdalih bahwa itu aspirasi rakyat, tapi dia lupa bahwa BPD terlantar sebagai lembaga penyalur aspirasi warga.
Namun, saya yakin masih banyak kepala desa yang arif dan fokus melayani masyarakat dan tidak berpolitik praktis, tetapi menanggung beban moral dan menuduh rakyat melakukan manuver yang tidak perlu.
Masih banyak kepala desa yang mampu berbagi peran dengan BPD sebagai mitra pemerintah di desa yang tidak begitu saja mengklaim aspirasi masyarakat desa untuk “dijual” kepada kekuatan politik tertentu.
Bangsa ini jangan sampai tertipu, bahwa kepala desa tidak mewakili sikap politik warganya, kecuali ada perampokan, seolah-olah 9 tahun masa jabatan kepala desa adalah suara rakyat. Itu adalah kebohongan!
Seolah-olah 6 tahun masa jabatan kepala desa tidak cukup waktu untuk membangun desa, alibi ketidakmampuan. Padahal, alasan itu adalah post-power syndrome, yaitu orang dihantui rasa takut kehilangan kekuasaan. (fud)