Tapin (ANTARA) – Para pemuda yang tergabung dalam Gerakan Seni Budaya (Gelas) pada 17 Desember 2022 berencana menampilkan pertunjukan teater tradisional Mamanda dalam rangka HUT ke-57 Kabupaten Tapin.
Ketua Rombongan Budaya Tapin Anggi Anggraini mengatakan acara Dalai Bahaga yang mengangkat tema kerajaan Banjar itu bertajuk “Parimata Putri Tambai“Ini digelar di Gedung Galuh Bastari Rantau, Kalimantan Selatan.
“Alasan kami menunjuk Mamanda adalah untuk menjaga eksistensi seni bahari yang lahir di Periok Margasari untuk generasi sekarang,” ujarnya di Rantau, Jumat.
Cendekiawan masyarakat bahari yang mampu menciptakan seni yang tak lekang oleh waktu ini, kata dia, harus tetap eksis mengingat nilai-nilai luhur di dalamnya.
Sebanyak 400 tiket umum seharga Rp. 15-Rp. 20 ribu sekarang terjual habis. Pembelinya, kata dia, berasal dari berbagai daerah di Kalsel.
Chief Executive Dalai Bahaga Akbar Abae menambahkan, saat ini tersisa 10 gold ticket, mulai dari Rp. 1 juta, semakin tinggi harga pembelian, semakin tinggi harga pembelian, semakin banyak kursi VIP yang ditempatkan secara strategis dan terlibat dalam upacara penghargaan untuk para donatur.
“Hasil penjualan tiket VIP akan kami gunakan untuk membayar pementasan yang saat ini masih minim. Beberapa sponsor sudah masuk, namun dana masih kurang untuk memaksimalkan event tahunan ini,” ujarnya.
Cara ini, kata dia, juga sebagai upaya membuka peluang bagi kelompok-kelompok tersebut untuk berkontribusi pada kesenian daerah dan kemajuan gerakan pemuda.
“Dalai Bahaga yang kedua digelar, waktu pelaksanaannya tepat pada momentum HUT Tapin,” ujarnya.
Sekilas, apa itu Mamanda? Pada tahun 1897, di Banjarmasin, rombongan Abdoel Moeloek dari Malaka mementaskan drama. Mereka dipimpin oleh Encik Ibrahim dan istrinya, Ibu Hawa.
Tokoh budayawan sekaligus seniman Akhmad Riadiy atau Kai Karatun (78) mengatakan, tahun itu masih zaman Kerajaan Banjar. Ada pedagang dari Margasari yang dikenal dengan nama Anggah Putih dan Anggah Hirang yang melihat pertunjukan tersebut dan tertarik untuk membuat kesenian serupa.
“Alur ceritanya (Mamanda) diambil dari puisi-puisi Abdul Muluk,” ujarnya melalui film dokumenter Kaca Budaya.
Sepulang dari Banjarmasin, melalui jalur sungai. Dalam sejarah, kedua lelaki di atas jukung (perahu kayu) sambil mengayunkan dayung bertukar pikiran untuk sebuah seni yang disebut Ba Abdoel Moeloeksekarang dikenal sebagai Mamanda.
Sebelum dikenal luas oleh masyarakat di Kalimantan Selatan. Penyebaran dan perkembangannya pertama kali di desa-desa sekitar Margasari dan daerah Rantau (ibukota Kabupaten Tapin tahun 1965).
sejarah Mamanda :