Tapin (ANTARA) – Hampir seluruh masyarakat di Desa Hiyung, Kecamatan Tapin Tengah, Kabupaten Tapin, Kalimantan Selatan kini bergantung pada cabai rawit yang tumbuh di ekosistem rawa.
Budidaya tanaman cabai dimulai satu dekade lalu atau ketika sebuah perusahaan perkebunan sawit melebarkan sayap ke daerah rawa lebak di sekitar desa.
Konversi lahan besar-besaran untuk perkebunan sawit ini dikenang sebagai momentum runtuhnya kearifan lokal masyarakat, yakni mencari ikan dan kayu sebagai sumber ekonomi utama.
Pendeknya. Menyusul kesulitan tersebut, muncullah cabai rawit yang dikenal sebagai cabai terpedas untuk menggantikan sumber ekonomi masyarakat yang semakin lesu dan kurang beruntung.
Masyarakat dan pemerintah pada era Bupati Tapin HM Arifin Arpan (2013-2023) masih berupaya menjadikan cabai rawit yang dinamai sesuai daerah asalnya menjadi tulang punggung perekonomian yang dapat membawa kesejahteraan.
Khusus di Desa Hiyung, saat ini terdapat 116 hektar lahan produktif milik 11 kelompok tani.
Lahan seluas itu melibatkan 300 Kepala Keluarga Setempat (KK). Jika ditambah dengan 140 hektar lahan milik petani mandiri, sebanyak 329 KK atau 99 persen warga Desa Hiyung mengandalkan tanaman cabai ini sebagai tumpuan ekonomi.
Memasuki musim kemarau, menurut siklusnya, sekitar bulan April, cabai rawit Hiyung memasuki musim tanam hingga sekitar bulan Juni-Juli mulai musim panen.
Jika sepanjang tahun cuaca baik dan ancaman penyakit bisa diminimalkan, maka panen raya bisa dilakukan 20 kali lebih banyak.
Jika terjadi musim kemarau, petani cabai di Hiyung bisa menghasilkan 3 ton/hektar. Namun jika terjadi musim kemarau basah maka hanya 1,5 ton/hektar dan petani hanya dapat memanen kurang dari 20 kali sepanjang musim.
Soal harga, cabai rawit hiyung lebih unggul dari jenis cabai lainnya, sehingga di pasaran harga jualnya bisa selisih Rp 5.000-Rp 10.000/kg dengan cabai rawit dari daerah lain.
Cabai rawit Hiyung mengalami harga tertinggi dan terendah baru-baru ini yaitu Rp 35 ribu-120 ribu/kg yang fluktuasinya sangat dipengaruhi oleh kondisi pasar.
Jika harga turun, misalnya di bawah Rp35.000, sejak 2015 kelompok tani di desa tersebut sudah memiliki cara untuk menjaga stabilitas harga di tingkat petani. Mereka akan membeli sebagian hasil panen petani untuk kebutuhan produksi rumahan cabai rawit abon atau hiyung.
Tentunya nilai tukar dalam konsep perdagangan disesuaikan dengan mempertimbangkan keuntungan petani dan rumah produksi turunan cabai rawit.
Beda kondisi kalau harga bersahabat. Anggap saja di atas Rp 90.000 saat musim panen bagus, momentum inilah yang disebut petani berkah, keuntungan bisa berlipat.
Laba
Mengukur keuntungan individu, misalnya, dialami Darita (60), petani mandiri dengan lahan setengah hektar. Setiap musim dia bisa mendapatkan omzet Rp 50 juta, dengan rata-rata keuntungan bersih Rp 25 juta/musim.
Sedangkan Asyadi (52), salah satu anggota kelompok tani, dengan lahan sekitar 2 hektare, dia bisa mendapatkan keuntungan sekitar Rp. 50 juta dengan omzet lebih dari Rp. 100 juta per musim.
Di sela-sela siklus panen-tanam, kedua petani itu sibuk menanam padi.
Orientasinya bukan untuk meningkatkan pendapatan, tetapi sebagai upaya menjaga ketahanan pangan rumah tangga selama satu tahun.
Kebiasaan ini dianggap menggambarkan bahwa sebagian besar masyarakat menjadikan cabai rawit sebagai sumber utama perekonomian.
Untung saja digunakan untuk biaya hidup sehari-hari di Indonesia yang semakin hari semakin “keren” dengan fenomena es teh di warung yang semakin meningkat sejak tahun 90-an.
Selain penghasilan dari hasil panen cabai rawit segar, ibu-ibu di Desa Hiyung juga bisa mendapat untung dari penjualan bibit cabai rawit.
Mayoritas perempuan di desa ini menjalankan usaha budidaya benih yang dijual kepada petani di dalam dan luar desa dengan keuntungan hingga jutaan rupiah.
Misalnya, Sabariah (51), mengaku mampu menjual 10.000 bibit cabai rawit setiap bulan. Bibit berumur 1 bulan – 1,5 bulan dijual Rp 300 per batang.
Jika dihitung, penghasilan ibu rumah tangga ini bisa mencapai Rp3 juta/bulan. Bisnis ini bisa dilakukan sepanjang tahun.
Pasar
Selain pasar lokal di Kalimantan Selatan, cabai rawit Hiyung ini disebut-sebut sudah merambah Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Kalimantan Tengah, hingga Kalimantan Timur.
Ke depan, untuk memberdayakan pekerja muda, kelompok tani di Hiyung sedang mengembangkan konsep bisnis.
Maksudnya, cabai rawit akan dijadikan sebagai bahan utama pelengkap rasa pedas di setiap masakan rumah makan, hingga rumah makan yang ada di Kalimantan Selatan.
Selain itu, mereka telah mengirimkan sampel ke beberapa negara di Asia, hingga Eropa, bahkan telah menyelesaikan persyaratan ekspor.
Baru-baru ini, pemerintah daerah memfasilitasi pembahasan kerjasama antara perusahaan besar dan petani cabai rawit. Konsep produk tersebut kini telah disiarkan ke media massa oleh perusahaan raksasa tersebut.
Sejak lima tahun lalu, hasil panen disebut selalu ludes, karena banyaknya permintaan dari berbagai wilayah Indonesia.
Oleh karena itu, perluasan lahan terus dilakukan setiap tahun secara rutin oleh pemerintah daerah.
Data Dinas Pertanian Tapin menunjukkan, hingga tahun 2023 luas lahan yang dibuka pemerintah daerah mencapai 222 hektare.
Luas lahan tersebar di wilayah Desa Hiyung (150 hektar), di beberapa desa di Kecamatan Candi Laras Selatan (70 hektar) dan Kecamatan Bakarangan (2 hektar). Media tanam di semua areal ini memiliki geografi rawa rawa yang mirip dengan Hiyung.
Sedangkan tingkat produktivitas pada tahun 2021 mencapai 69,04 kwintal per hektar dan pada tahun 2022 mencapai 90 kwintal per hektar.
Dalam hal pengembangan tanaman ini, Pemerintah terus memberikan pendampingan dan pembinaan secara terus menerus untuk membantu memperluas pasar cabai rawit.
Ketua Kelompok Tani Karya Baru Junaidi mengatakan, kondisi ini memberikan secercah harapan bagi kejayaan petani cabai rawit Hiyung ke depan.
“Petani cabai rawit Hyung pasti sejahtera,” katanya kepada Antara.
terpanas
Secara historis, cabai rawit hiyung telah resmi diakui dan didaftarkan sebagai varietas tanaman lokal khas Tapin dengan nomor pendaftaran 09/PLV/2012 April 2012.
Cabai rawit Hiyung (Capsicum Frutescens L), menurut penelitian dari laboratorium uji Balai Litbang Pascapanen Kementerian Pertanian, hanya dapat tumbuh optimal di rawa lebak dan memiliki tingkat kepedasan hingga 94.500 PPM.
Tingkat kepedasannya disebut-sebut setara dengan 17 kali cabai biasa. Hasil penelitian juga menyebutkan bahwa kadar capsaicin pada cabai rawit mencapai 699,87-2333,05 PPM. Oleh karena itu, cabai rawit diklaim sebagai cabai terpedas di Indonesia.
Sedangkan untuk produk pangan olahan, cabai rawit hiyung telah dilengkapi dengan izin edar pangan olahan dari BPOM dengan Nomor Merek Dagang (MD) 255616001074.
Editor: Masukkan M. Astro
HAK CIPTA © ANTARA 2023