BANJARMASIN – Terdakwa Abdul Latif, mantan Kepala Dinas Hulu Sungai Tengah (HST) menerapkan kebijakan satu pintu untuk menyetor iuran proyek.
Hal itu diungkapkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam sidang dugaan gratifikasi dan pencucian uang (TPPU) di Pengadilan Tipikor Banjarmasin, kemarin (15/3).
Empat saksi yang diperiksa yakni Said Abdul Basit, Erick Rianto, Pujiansyah Noor dan Habib Hafizi mengatakan telah mendengar dan mengetahui kebijakan satu pintu tersebut.
Satu pintu untuk pengaturan kerja proyek dan komitmen biaya. Semuanya diatur dan dititipkan pada mantan Ketua Kadin HST, Fauzan Rifani.
“Saya baru dengar. Tapi saya belum tahu langsung,” kata Said.
Meski mengaku memberikan fee kepada Fauzan. “Semua diserahkan ke dia (Fauzan),” ujarnya.
Dia tidak mau menyebutnya sebagai komitmen biaya. Dia mengambil uang itu sebagai ucapan terima kasih. “Tapi ketika tidak ada keuntungan, saya tidak memberi,” ujarnya.
Hal senada dikatakan Erick. Dia belum pernah mendengar tentang kebijakan satu pintu ini. “Selalu ke Fauzan, tidak pernah ke Pak Latif langsung,” ujarnya.
Masalah lainnya, salah seorang saksi, Hafizi, dimintai keterangan terkait pemberian lima mobil kepada ormas di HST oleh Latif. Semua mobil tersebut telah disita oleh KPK.
Itu terjadi pada 2017, setahun setelah Latif menjabat bupati, lima mobil tersebut dibagikan kepada NU HST, Muhammadiyah HST, MUI HST, salah satu pesantren di HST, dan Ikatan Keluarga Besar (Ikbal) Allawiyyin HST.
Seperti diungkapkan Bendahara Ikbal, Hafizi, mobil tersebut diserahkan pada awal 2017 saat perayaan ulang tahun di kediaman bupati. Meski mendapat hibah mobil, dia tidak tahu dari mana uang itu berasal.
“Saya tidak tahu uangnya dari mana, yang pasti dia (Latif) memberikan bantuan mobil,” ujarnya.
Setahunya, hibah itu tanpa pamrih, murni bantuan. “Jadi saya harap mobil itu dikembalikan untuk kegiatan operasional,” pintanya.
Dalam tanggapannya, Latief membantah kebijakan satu pintu tersebut. Ia bahkan mengaku tidak pernah memerintahkan kontraktor untuk membayar commitment fee. “Itu dari keterangan Fauzan. Sedangkan pihak kontraktor mengaku tidak pernah menyerahkan uang kepada saya,” kata Latif.
Pertemuan kemarin seharusnya menghadirkan salah satu mitra. Dia adalah Haji Asoy. Namun karena yang bersangkutan sakit, maka tidak bisa dihadirkan.
Pernyataan Asoy dalam kasus ini diklaim sangat penting. Pasalnya, kontraktor ini disebut-sebut mendapatkan banyak pekerjaan dengan nilai yang besar.
Majelis Hakim yang dipimpin Jamser Simanjuntak pun berharap JPU KPK bisa menghadirkan yang bersangkutan. Bahkan melalui virtual.
Sebelum diadili. Orang yang dimaksud terlihat sakit sambil berbaring selama video call. Asoy terbaring di rumah, bukan di rumah sakit.
“Kalau memang sakit tidak bisa dipaksakan. Tapi kalau masih bisa, lewat virtual bisa dilakukan,” kata Jamser.
Sementara itu, jaksa KPK Eko berjanji akan menghadirkan Haji Asoy pada sidang berikutnya. “Sesuai arahan majelis, mekanismenya bisa di kejaksaan atau kepolisian. Situasinya tidak memungkinkan,” ujarnya.
Seperti diketahui, dalam kasus ini Latif diduga menerima gratifikasi sebesar Rp 41 miliar selama menjabat bupati pada 2016-2017.
Dia didakwa melanggar dua pasal. Yang pertama adalah Pasal 12B Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Kedua, Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. (mof/gr/fud)