Saksi Tomy Hidayat dari unsur Polri sebagai pendamping terdakwa H Abdul Latif saat mencalonkan diri sebagai calon Bupati Hulu Sungai Tengah (HST).
Secara tegas disebutkan, beberapa kendaraan bermotor yang disita penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah ada di rumah terdakwa sebelum terdakwa terpilih menjadi bupati.
Penegasan itu disampaikan Tomy pada sidang lanjutan terdakwa mantan Bupati HST Abdul Latif di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Banjarmasin, Jumat (12/5/2023). dihadapan majelis hakim yang dipimpin hakim Jamser Simanjuntak.
“Saya mengetahui hal ini karena sebelumnya tergugat menjadi Bupati. Saya ditugaskan untuk mengawal terdakwa dan kendaraan seperti sepeda motor Hammer, Cadillac dan Harley Davidson dan Ducati.
Sudah ada di garasi rumah terdakwa termasuk beberapa kendaraan lain,” kata Tomy, meski masih ditanyakan oleh jaksa KPK.
Terhadap kendaraan Hammer DA 232 RK tersebut, ia diperintahkan oleh terdakwa untuk melakukan pemeriksaan fisik kendaraan tersebut di rumah penjual.
Saksi juga mengakui bahwa terdakwa juga telah menyetorkan sejumlah uang ke rekening terdakwa di Bank Mandiri Barabai
Sementara itu, saksi lain, Muhammad Room yang merupakan direktur utama PT Bahtera Utama Mulia, diakui saksi sebagai pemilik perusahaan yang menjadi terdakwa.
Dan hasil proyek yang diperoleh selalu dibayarkan kepada tergugat baik secara fisik maupun melalui rekening.
Dalam mengikuti tender tidak semuanya dimenangkan oleh PT BUM, terkadang juga kalah.
Soal harga tender, dia mengaku belum mengetahui secara pasti.
Namun ada program Peduli Banua, dimana saksi mengatakan bahwa setiap pemenang tender menyetor 2,5 persen ke rekening Peduli Banua, dana untuk anak yatim dan janda Syarifah.
“Saya tidak tahu persis berapa uang yang terkumpul di rekening Peduli Banua.
Karena untuk mencairkan dana itu ada dua yang mengontrak saya dan Ketua Kadin Fauzan.
Biasanya saya hanya menandatangani slip penagihan yang kemudian diserahkan kepada Fauzan,” jelasnya.
Seperti diketahui, dalam dakwaannya, JPU KPK yang dikomandoi Hari itu menyatakan terdakwa Abdul Latif telah melakukan penyamaran uang hasil gratifikasi lebih dari Rp 41 miliar.
Apa yang didapatnya dari jabatannya sebagai bupati pada 2016 dan 2017, salah satunya dengan menggunakan nama orang lain.
JPU dalam persidangan mendakwa terdakwa melanggar pasal 12 B juncto pasal 18 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di juncto Pasal 64 Ayat (1) KUHP (KUHP).
Kemudian dalam dakwaan kedua, JPU mendakwa pasal 3 UU RI Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Juncto Pasal 65 ayat (1) KUHP.