BANJARMASIN – Seorang anggota DPRD Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST) bertindak sebagai makelar proyek.
Hal itu terungkap dalam sidang lanjutan kasus gratifikasi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) yang menyeret mantan Bupati HST Abdul Latif di Pengadilan Tipikor Banjarmasin, kemarin (31/3).
Siapa dia? Namanya Yazid Fahmi Anwar.
Ia dihadirkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai saksi.
Yazid mengaku sebagai penghubung antara kontraktor dan instansi pemerintah.
Di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin Jamser Simanjuntak, Yazid terang-terangan mengaku memanfaatkan jabatannya di dewan untuk mendapatkan dan membagikan proyek untuk teman-temannya.
Dalam hubungannya dengan terdakwa, Yazid merupakan kader Partai Berkarya. Dimana tertuduh adalah mantan ketua partai.
Yazid juga menjadi bagian dari tim sukses yang membantu memenangkan Latif di kampanye Pilkada 2015.
Sebagai makelar, Yazid tentu mendapat imbalan. “Sebagai penghubung, saya mendapatkan 50 persen dari keuntungan,” katanya.
Ini fakta baru, karena sebelumnya para saksi mengaku membayar iuran proyek kepada perantara bupati – mantan Ketua Kadin HST, Fauzan Rifani.
Nilai komitmen biaya bervariasi. Untuk proyek jalan dan jembatan sebesar 10 persen dari nilai kontrak. Sedangkan untuk proyek bangunan sebesar 7,5 persen.
Selain menghadirkan Yazid, KPK juga menghadirkan saksi lainnya. Dia adalah Muhammad Ilmi. Perusahaannya sering dipinjam rekan-rekannya untuk mengejar proyek di HST.
Ilmi yang mengaku sebagai pengusaha air galon isi ulang mengatakan, dari pinjaman perusahaan, ia mendapat fee 2,5 persen.
Namun jika dia sendiri yang mengejar proyek tersebut, maka dia membayar fee 10 persen kepada Fauzan. “Tapi saya tidak tahu kemana uang itu pergi,” katanya.
Sama seperti sidang sebelumnya, Latief membantah keterangan saksi. “Saya tidak pernah menyuruh menyetor,” bantahnya.
Seperti diketahui, Latief divonis enam tahun penjara dan diharuskan membayar denda Rp. 300 juta atau subsider tiga bulan oleh Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta, 20 September 2018 lalu.
Dalam kasus baru ini, dia dijerat menerima gratifikasi lebih dari Rp 41 miliar selama menjabat sebagai bupati periode 2016-2017.
Latif diduga melanggar Pasal 12B UU 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Kemudian dia didakwa melanggar Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU.
Sidang akan dilanjutkan pekan depan, masih dengan agenda pemeriksaan saksi. (mof/gr/fud)