Cakupan ke daerah terpencil selalu menarik sekaligus menantang. Saat melapor ke pedalaman Kalsel tahun 2017 lalu, saya masih sempat bertemu dengan para kepala suku Dayak Meratus atau tetua adat yang biasa disebut damang. Namanya Ayal Kusal, dan biasa dipanggil Damang Ayal. Dia meninggal pada September 2020.
Semasa hidupnya, Damang Ayal tinggal di kawasan Pegunungan Meratus. Tepatnya di Desa Loklahung, Kecamatan Loksado, Kabupaten Hulu Sungai Selatan. Desa ini berjarak kurang lebih 175 kilometer (km) dari Kota Banjarmasin. Sejak Januari 2014, saya tinggal di Banjarmasin dengan wilayah penugasan mencakup seluruh Kalimantan Selatan.
Sebelum berangkat ke Loksado, saya terlebih dahulu menghubungi Ketua Kerukunan Etnis Dayak Meratus (KSDM) Kalimantan Selatan Kapau Fauziono yang juga tinggal di Loksado. Saya mohon izin untuk masuk ke wilayah Loksado dalam rangka pemberitaan. Saya juga menyampaikan gambaran liputan saya disana dan tempat-tempat yang akan dikunjungi.
“Iya pak, datang saja ke Loksado. Kita tunggu saja,” kata Kapau saat dihubungi dari Banjarmasin, beberapa hari sebelum keberangkatan.
Minggu (26/3/2017) pagi, saya berangkat dari Banjarmasin menuju Loksado dengan sepeda motor. Perjalanan reportase saya kali ini bersama istri karena tertarik melihat suasana dan pemandangan alam Loksado. Apalagi, Loksado merupakan kawasan wisata alam di Kalimantan Selatan yang telah ditetapkan sebagai Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN).
Saya dan istri berangkat dari rumah pukul 07.00 WITA. Anak kami satu-satunya tidak datang dan diasuh oleh neneknya yang kebetulan berasal dari Kalimantan Barat (Kalbar). Perjalanan sejauh 40 km dari Banjarmasin menuju Martapura, Kabupaten Banjar, berjalan mulus. Cuaca juga masih cukup bersahabat.
Namun, setelah melewati Martapura, tiba-tiba cuaca berubah menjadi mendung. Angin bertiup kencang. Sesaat kemudian, hujan deras. Kami harus menepi dan mencari tempat berlindung. Bukan hanya sekali tapi berkali-kali kami harus berlindung karena tidak disangka cuaca sangat tidak bersahabat.
Menjelang siang, kami tiba di Kandangan, ibu kota Kabupaten Hulu Sungai Selatan. Kondisi cuaca juga masih hujan. Kami memutuskan untuk singgah di sebuah warung untuk makan terlebih dahulu sebelum melanjutkan perjalanan.
Jalan dari Kandangan ke Loksado sudah diaspal. Namun kondisinya menanjak, menurun dan berkelok-kelok. Memasuki wilayah Desa Hulu Banyu, Kecamatan Loksado, perjalanan kami terhenti akibat longsor pasca hujan. Material longsor menutupi jalan provinsi yang menghubungkan Loksado-Kandangan.
Kami juga harus menunggu petugas Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Hulu Sungai Selatan bersama anggota Polsek Loksado dan warga sekitar membersihkan material longsoran. Sambil tertahan di sana, saya mengeluarkan kamera dan memotret upaya petugas membersihkan material longsoran. Fotonya muncul di koran Kompas keesokan harinya setelah dikirim dengan susah payah karena jaringan internet yang buruk di Loksado saat itu.
Baca juga: Kepanikan Naik Turun Mengejar Presiden di IKN
Saat saya masih ditahan di Desa Hulu Banyu, handphone saya bergetar karena ada telepon masuk dari Pak Kapau. “Dari mana saja Anda, Tuan?” Dia bertanya. Saya juga bilang, baru sampai di daerah longsor dan tidak bisa lewat. “Itu tidak jauh Pak. Tunggu, saya akan menjemput Anda di sana,” katanya.
Tak lama setelah ditelepon, Kapau datang dengan mengendarai sepeda motor. Kami juga bertemu di lokasi longsor. Itu adalah pertemuan tatap muka pertama kami setelah sebelumnya hanya berkomunikasi melalui telepon. Kami menunggu hingga sebagian jalan terbuka dan bisa dilalui sepeda motor.
Kami melanjutkan perjalanan ketika hari sudah senja. Pak Kapau memandu perjalanan kami menuju penginapan. “Istirahat saja pak. Besok jalan-jalan saja. Jangan khawatir, di sini aman,” katanya.
Baca juga: Ketua MK “Kupepet” ke Bandara
Jelajahi Loksado
Keesokan harinya, setelah cuaca agak panas, kami mulai menjelajahi kawasan Loksado tanpa ditemani Pak Kapau. Tujuan pertama adalah Desa Haratai, sekitar 10 km dari lokasi penginapan. Di desa tersebut terdapat Air Terjun Haratai yang indah. Saya nekat naik motor ke sana meski jalurnya cukup ekstrim.
Setelah kembali dari lokasi Air Terjun Haratai, kami menuju Desa Loklahung untuk melihat pengolahan kayu manis dan sirup kayu manis. Di desa itu, kami juga mencoba menemui Damang Ayal. “Dia masih di hutan (ladang). Baru pulang sore,” kata beberapa warga Loklahung yang sedang berkumpul di beranda rumahnya.
Sambil menunggu Damang Ayal pulang dari ladang, kami berbincang dengan Ahmad Fauzi, warga Loklahung yang mengolah sirup kayu manis. Sekitar pukul 17.00 WITA, kami kembali ke rumah Damang Ayal yang jaraknya hanya beberapa meter dari Balai Adat Malaris yaitu Balai Agama Adat Kaharingan. “Kamu masih mandi. Silahkan tunggu,” kata Jumiyah, istri Damang Ayal.
Sambil menunggu Damang Ayal, kami dipersilakan duduk di teras rumah. Tidak lama kemudian, Damang Ayal muncul. Ia selesai mandi di Sungai Wani-Wani yang mengalir di depan rumahnya. Sungainya berbatu dan airnya sangat jernih.
Usai berganti pakaian, Damang Ayal menemui kami di teras rumahnya. Kami duduk dan saling berhadapan. “Saya Jumarto, Damang. Wartawan Kompas yang sedang bertugas di Banjarmasin,” aku memperkenalkan diri sambil bersalaman dengan Damang Ayal.
Baca juga: Di Lintas Sumatera Timur, “Transformer” Kalah Tenaga
Damang Ayal yang saat itu berusia 75 tahun memegang erat tanganku sambil memandangiku dari atas ke bawah. Dia juga terlihat seperti sedang mengendus sesuatu. “Kamu orang Dayak?” Dia bertanya. “Betul, Damang,” jawabku. “Dayak yang mana?” dia bertanya lagi. “Dayak Kalbar, Damang,” jawabku.
Saya pun berpikir, mungkin kejelian Damang Ayal dalam mengenal orang baru. Karena, jarang orang tahu siapa saya jika saya belum pernah bertemu sebelumnya. Kebanyakan orang mengira saya orang Jawa ketika saya memperkenalkan nama saya dan menyebut diri saya seorang jurnalis Kompas.
Saya kemudian memperkenalkan istri saya kepada Damang Ayal sambil menyapa Damang Ayal dan memperkenalkan dirinya. Damang Ayal memperhatikan istriku dengan hati-hati.
“Di mana istriku, Damang?” tanyaku sambil tersenyum. “Istrimu orang Cina,” katanya. Kami langsung tertawa. “Bukan Cina, Damang. Dayak Kalbar juga,” kataku.
Kami menginap dua malam di Loksado. Sekembalinya dari Loksado, ketika saya bercerita kepada wartawan di Banjarmasin tentang pengalaman saya bertemu Damang Ayal, seorang wartawan yang pernah bertemu Damang Ayal mengatakan, “Sidin mirip orang Tionghoa (dia juga mirip orang Tionghoa),” ujarnya.
Baca juga: Bagaimana Wartawan Menemukan Kebahagiaan
Tanpa bermaksud menonjolkan suku, agama, ras dan antargolongan (SARA), pengalaman itu sangat berkesan. Saya merasa diterima di daerah yang belum pernah saya kunjungi sebelumnya. Saya juga mendapat banyak cerita tentang perjuangan masyarakat Dayak Meratus atau Dayak Bukit dalam menjaga hutan dan melestarikan alam.
Damang Ayal saat itu mengatakan bahwa hutan sangat erat hubungannya dengan manusia. Tanpa hutan dan tanah, masyarakat adat (Dayak) tidak bisa hidup. Oleh karena itu, Hutan Meratus harus dijaga dan dilestarikan selamanya demi kelangsungan hidup anak cucu.
“Hutan Meratus jangan dipusingkan karena di kawasan Pegunungan Meratus masih ada manusia, sejarah, dan peta. Pemerintah harus mendukung kami,” kata Damang Ayal, yang juga Kepala Desa Loklahung.
Selamat beristirahat dalam keabadian, Damang Ayal. Semoga semangat Anda untuk menjaga hutan Meratus diteruskan oleh anak cucu Anda dengan semangat yang tak pernah padam.