KABUPATEN Balangan memiliki tradisi dalam perkawinan antara duda dan duda. Yakni Balawang Tujuh Gunung Api.
Tradisi ini dilakukan pada malam hari. Karena menurut budaya setempat, saat janda atau duda menikah, resepsi tidak boleh dilakukan pada siang hari.
Menurut warga asli Balangan, Hj Asanah, disebut Balawang Tujuh Bagunung Api karena terdapat tujuh pintu masuk yang terbuat dari kain sarung atau tali di pelataran mempelai wanita.
Ketujuh pintu itu dikelilingi oleh obor menyala yang ditancapkan pada bingkai yang menyerupai atap rumah atau gunung.
Perjalanan kedua mempelai dalam melewati ketujuh pintu tersebut sebelum duduk di pelaminan di dalam rumah, diiringi dengan iringan musik yang terengah-engah dari para pemusik.
Selain sebagai hiburan tersendiri, tradisi ini juga menyimpan filosofi. Bahwa memasuki tujuh pintu secara bersama-sama diibaratkan mengambil pelajaran dari pengalaman berumah tangga masa lalu untuk mengatasi berbagai masalah ke depan.
“Dulu tradisi ini bisa ditemukan hampir di seluruh wilayah Balangan, namun sekarang hanya bisa dilihat di Kecamatan Lampihong dan di desa-desa tertentu saja,” ujar perempuan berusia 53 tahun itu.
“Pung pung halu, karena gicak giyang, kumpul bareng di balu jangan bamadu jomblo, Pung pung halu karena gicak giyang, asal jangan bamadu dikonfrontir siang malam. Bangun di malam hari, nyalakan balawang tujuh, gunung api.”
Itulah sepenggal syair yang biasa dinyanyikan untuk mengiringi kedua mempelai melewati tujuh pintu.
Serupa tapi tak sama, tradisi pernikahan lainnya di Balangan, yakni Jalan Liuk, masih dilestarikan warga Desa Marias di Kecamatan Juai.
Kedua tradisi ini dilakukan pada malam hari dan di lapangan. Namun bukan untuk para duda atau janda, melainkan untuk semua pasangan yang sedang mengadakan resepsi pernikahan.
Dalam tradisi ini, kedua mempelai harus masuk melalui pintu yang berbeda, dan memecahkan teka-teki mirip labirin agar bisa bertemu di tengah-tengahnya.
Menurut warga setempat yang juga pelaku kesenian tradisional ini, H Syarpani mengungkapkan, Jalan Liuk sudah menjadi tradisi turun temurun di masyarakat Juai dan masih dilestarikan.
“Pesan yang tersirat di dalamnya adalah dalam mengarungi rumah tangga pasti mengalami berbagai masalah, bukan yang lurus, tapi yang berliku-liku,” jelasnya. (kenapa/gr/fud)