SETIAP muslim pasti berkeinginan menyempurnakan keislamannya dengan menunaikan ibadah haji. Berhaji memiliki syarat wajib, yakni mampu (istitha’ah) dari segi kesehatan dan keuangan serta keamanan dalam perjalanan. Kewajiban berhaji akan gugur apabila calon jamaah tidak memenuhi syarat istitha’ah tersebut.
Berdasar Permenkes Nomor 15 Tahun 2016, istitha’ah kesehatan didefinisikan sebagai “kemampuan jamaah haji dari aspek kesehatan yang meliputi fisik dan mental yang terukur dengan pemeriksaan yang dapat dipertanggungjawabkan sehingga jamaah haji dapat menjalankan ibadahnya sesuai tuntunan agama Islam”.
Pemenuhan syarat istitha’ah keuangan belum ada ukurannya. Secara umum istitha’ah keuangan merujuk pada kemampuan calon jamaah membayar biaya perjalanan dan perbekalan selama berhaji.
Struktur Biaya Haji
Untuk mendapat nomor antrean, jamaah harus membayar setoran awal Rp 25 juta dan pada tahun keberangkatan membayar setoran lunas bervariasi menurut embarkasinya. Setoran awal dan setoran lunas yang dibayar jamaah dulu disebut ongkos naik haji (ONH), kini disebut biaya perjalanan ibadah haji (bipih).
Ketika berhaji belum antre dan jamaah dapat berangkat pada tahun mendaftar, ONH atau bipih mencerminkan biaya riil haji. Dengan meningkatnya pendaftar haji, terbentuklah antrean dan terakumulasi dana setoran awal.
Berdasar UU 34/2014, akumulasi setoran awal berpotensi ditingkatkan nilai manfaatnya guna mendukung penyelenggaraan ibadah haji yang lebih berkualitas melalui pengelolaan keuangan haji yang efektif, efisien, transparan, akuntabel, dan sesuai perundang-undangan. Untuk mengelola setoran awal, dibentuklah Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH).
UU 34/2014 mengamanatkan BPKH membagikan nilai manfaat pengelolaan setoran awal kepada rekening virtual jamaah tunggu secara periodik, yang persentasenya ditetapkan setelah mendapat persetujuan DPR. Dalam hal akumulasi saldo setoran jamaah lebih besar daripada bipih pada tahun keberangkatan, BPKH wajib mengembalikan selisih lebihnya.
Selain biaya yang dibayar jamaah, terdapat biaya lain yang dibebankan pada nilai manfaat pengelolaan setoran awal yang dulu disebut indirect cost. Keseluruhan biaya yang dibayar jamaah dan yang bersumber dari nilai manfaat merupakan biaya penyelenggaraan ibadah haji (BPIH).
Alokasi Nilai Manfaat
Prosesi ibadah haji dilaksanakan di Arab Saudi dan sekitar 90 persen biaya dibayarkan dalam USD dan SAR. Dengan tingkat inflasi RI yang lebih tinggi dibanding inflasi Arab Saudi dan adanya depresiasi rupiah terhadap USD dan SAR, merupakan keniscayaan BPIH dalam rupiah akan naik setiap tahun.
Sejauh ini kenaikan BPIH tidak selalu diikuti kenaikan bipih dengan tingkat yang sama. Kondisi tersebut menyebabkan porsi bipih terhadap BPIH per jamaah berangsur turun dan sebaliknya alokasi nilai manfaat untuk mendukung biaya jemaah meningkat. Akibatnya, nilai manfaat yang dibagikan ke rekening virtual jamaah tunggu proporsinya juga menurun.
Pola alokasi nilai manfaat beberapa tahun terakhir dipandang tidak adil bagi jamaah tunggu, mengandung unsur Ponzi, dan berdampak pada keberlangsungan keuangan haji. Karena itu, pola tersebut perlu mulai diubah pada musim haji tahun 2023.
Banyak pihak memandang masa tunggu haji yang mencapai puluhan tahun memungkinkan setoran awal berkembang secara signifikan untuk menutup biaya yang harus dibayar jemaah saat keberangkatan. Namun, pandangan tersebut didasari asumsi pembagian nilai manfaat dilakukan sejak jemaah masuk daftar tunggu dan pembagiannya proporsional terhadap seluruh jamaah.
Sedangkan pembagian nilai manfaat ke rekening virtual jamaah tunggu baru diamanatkan dalam UU 34/2014 dan terealisasi pada 2018. Pembagiannya pun masih belum proporsional untuk seluruh jamaah.
Bauran Kebijakan
Usulan Kementerian Agama terhadap nominal dan porsi bipih untuk musim haji 2023 telah memantik pembahasan yang luas terkait struktur biaya haji dan alokasi nilai manfaat pengelolaan setoran awal.
Dalam kesimpulan RDP, DPR meminta pemerintah mengambil bauran kebijakan terkait bipih dan BPIH yang meliputi: 1. Merevisi besaran setoran awal pendaftaran haji; 2. Rasionalisasi bipih secara berkala sesuai kondisi perekonomian; 3. Mendorong jamaah tunggu mencicil setoran lunas secara periodik hingga mendekati besaran bipih; 4. Mengupayakan tambahan kuota yang dialokasikan kepada jamaah reguler dengan pembebanan sebesar BPIH/jamaah (biaya riil haji); dan 5. Berkoordinasi dengan berbagai pihak untuk memanfaatkan kuota tidak terserap tahun berjalan.
Kerajaan Arab Saudi memiliki visi Saudi 2030 yang merupakan gagasan mengurangi ketergantungan pada minyak bumi, mendiversifikasi ekonomi, serta mengembangkan sektor layanan umum, termasuk infrastruktur dan pariwisata. Berkenaan dengan haji dan umrah, Kerajaan Saudi berencana meningkatkan kapasitas, kualitas, dan kecepatan layanan bagi jamaah haji dan umrah.
Haji dan umrah yang sebelumnya kental dengan nuansa hubungan antar pemerintah (G-to-G) mulai bergeser menjadi komersialisasi dan swastanisasi yang mengarah ke business to government dengan ditandai kenaikan beberapa tarif dan biaya.
Berpijak dari perkembangan itu, biaya haji ke depan sepertinya tidak lagi murah. Oleh karenanya, pemahaman syarat istitha’ah menjadi penting. Di masa lalu, nilai manfaat pengelolaan setoran awal digunakan dalam porsi signifikan untuk menekan biaya yang dibayar jemaah berangkat sehingga biaya haji terkesan murah.
Dengan adanya tuntutan pembagian nilai manfaat ke rekening virtual yang lebih adil dan proporsional, nilai manfaat nantinya akan banyak terakumulasi pada rekening virtual jamaah tunggu yang diperhitungkan untuk setoran lunas.
Kalaupun bipih mengalami kenaikan, saldo setoran jamaah dapat mengimbangi kenaikannya. Bahkan, untuk jamaah yang masa tunggunya cukup lama, saldo setoran dapat melebihi bipih sehingga akan mendapat pengembalian setoran dari BPKH. (Hari Prasetya, Deputi Perencanaan dan Pengkajian BPKH)