Mengajar di kelas sudah biasa. Tapi mengajar di atas jukung (perahu) di tengah rawa itu berbeda. Siswa dapat diajak beradaptasi dengan alam.
Oleh: JAMALUDDIN, Barabai
“Ayo naik perahu, biar Amat yang mendayung,” kata Muhammad Zaini, siswa kelas V SDN 1 Tabat, Kecamatan Labuan Amas Utara, Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST), Sabtu (14/5) pagi.
Tangan Chairani mencengkeram tiang itu erat-erat. Namun, tak ingin mengecewakan Amat, ia menuruti saja.
Kakinya sedikit gemetar. Guru berusia 32 tahun itu takut jatuh ke rawa karena tidak bisa berenang. Setelah berhasil duduk di atas perahu, Chairani merasa lega. Chairani adalah seorang guru dari Desa Durian Gantang, Kecamatan Labuan Amas Selatan. Ia mengajar Pendidikan Agama Islam (PAI). Lulusan STAI Al Washyiliah Barabai tahun 2013.
Pernah menjadi staf administrasi umum di kampus hingga tahun 2019. Pada tahun yang sama, ia mendaftar sebagai calon pegawai negeri sipil (CPNS) dan diterima di SDN 1 Tabat. Mulai mengajar disana sejak tahun 2020. Pagi itu cuaca cerah. Chairani dan ketiga muridnya, Zaini, Asmah dan Noorsyifa belajar tentang keesaan dan ciptaan-Nya. Belajar di kapal sepanjang enam meter.
“Kebetulan materi yang ingin diajarkan berhubungan dengan alam. Jadi tepat sekali ketika siswa diajak belajar di atas perahu,” ujarnya saat ditemui penulis usai mengajar. Bagi Chairani, ini adalah contoh penerapan Kurikulum Mandiri. Dimana guru diberikan keleluasaan untuk menentukan bahan ajar dan tempat pembelajaran untuk memudahkan pemahaman siswa.
“Ini pertama kali belajar di atas kapal. Biasanya siswa mengajak belajar di jembatan atau di bawah pohon,” ujarnya. Chairani tak pernah menolak ajakan siswanya untuk belajar di luar kelas.
Ekspresi gembira terpancar dari wajah para siswa. Sesekali Amat mengayuh jukung ke tengah agar tidak menabrak ilung (eceng gondok). Amat memang anak seorang nelayan. Kesehariannya tak lepas dari mengemudikan jukung.
Tampak aman, Chairani perlahan mulai mengajar dengan mengambil contoh dari sekelilingnya: air, pohon, ikan, dan burung adalah ciptaan Tuhan.
Baginya, ini adalah konsep pembelajaran yang menarik dan menantang. Dia akan mengulanginya. Setidaknya untuk kelas dengan jumlah siswa yang sedikit. Seperti kelas V yang hanya memiliki empat siswa (hari itu ada satu siswa yang cuti karena sakit). Atau kelas VI yang bahkan hanya memiliki satu siswa.
Sekadar informasi, SDN 1 Tabat terletak di Desa Tabat Ujung. Berdiri di atas tanah rawa, berhadapan dengan sungai yang bermuara ke Kandangan, Kabupaten Hulu Sungai Selatan (HSS). Guru senior Muhammad Syamsun mengatakan, sekolah ini berdiri pada era Presiden Soeharto, tepatnya tahun 1982. Ia mengajar di sana sejak tahun 1997.
Ada tujuh kamar, enam ruang kelas dan satu ruang guru. Ketika direnovasi, itu berkurang. Sekarang hanya tersisa empat kamar. “Lahannya tidak cukup, karena bukan milik sekolah, hanya dipinjam dari warga. Jadi kalau perlu bisa dipakai, kalau tidak harus dikembalikan,” kata guru berusia 57 tahun itu.
Memanfaatkan bangunan yang ada, kamar-kamar disekat sehingga dapat dibagi menjadi enam kelas. Partisi tidak permanen. Hanya sebuah papan yang dipasang di tengah ruangan. Hal ini pula yang menjadi alasan mengapa belajar di ruang terbuka lebih disukai oleh siswa. Lebih kalem dan keren.
Syamsun menegaskan, setiap tahun sekolahnya selalu kekurangan siswa. SD ini paling banyak pernah memiliki 50 siswa. Terus menurun, kini tercatat ada 34 siswa. Selain hasil “kompetisi” antarsekolah, Syamsun juga menyinggung soal program Keluarga Berencana (KB). Menurutnya, sejak saat itu angka kelahiran di Desa Tabat mengalami penurunan. “Jadi satu keluarga maksimal dua anak. Ini juga jadi masalah,” ujarnya.
Namun, sisi positif dari program KB adalah dapat menekan biaya hidup per keluarga. Karena perekonomian desa ini tergolong rendah. Di sini satu-satunya pilihan pekerjaan adalah memancing atau berkebun. Jika tidak cukup, mereka akan madam (mengembara). Bulan pergi untuk mendapatkan uang. “Kalau keluar bisa satu sampai empat bulan. Jadi anak kami biarkan saja dia ikut orang tuanya. Ketika kami kembali, kami menawarkan untuk kembali ke sekolah lagi,” katanya.
Pernah ada kejadian, siswa tidak datang belajar selama beberapa bulan. Segera setelah Anda kembali, segera lakukan tes. Ketika saya kembali ke sekolah, saya langsung mengikuti ujian. Ternyata mahasiswi ini ke Kalimantan Timur.
Sekolah terpaksa menerima siswa itu lagi. Yang penting jangan putus sekolah. “Bukan soal aturan. Siswa mau sekolah, kami senang sekali. Misi utama sekolah ini adalah menjadikan Desa Tabat lebih baik lagi,” terangnya.
Para guru juga mendorong mereka untuk melanjutkan pendidikan ke SMP dan SMA. Alhasil, sudah ada beberapa alumnus SDN Tabat 1 yang telah diwisuda.
“Jadi kami bantu dari SMP, SMA hingga mendaftar kuliah. Kami senang jika anak-anak Desa Tabat bisa sukses,” ujarnya.
Jadi sedikit atau banyak jumlah siswa menjadi kurang penting. Ini tentang semangat anak-anak untuk belajar dan niat mulia para guru mereka.