Jakarta – Ibadah haji hukumnya wajib bagi yang mampu. Mampu dalam segi materi dan mampu secara fisik. Tapi bagaimana hukumnya bagi umat muslim yang mampu dan hendak melakukan ibadah haji lebih dari satu kali?
Ibadah haji sering dikaitkan dengan kuota yang terbatas. Sebagai negara dengan populasi umat muslim yang begitu banyak, Indonesia tentu memiliki batasan tertentu berdasarkan perjanjian dengan pemerintah Arab Saudi terkait kesempatan jemaah haji per tahunnya.
Namun, dalam beberapa kasus, didukung dengan kondisi fisik yang masih mumpuni dan kondisi finansial yang baik, seorang muslim terkadang ingin pergi ke Baitullah untuk melaksanakan haji lebih dari satu kali. Apakah hal tersebut diperbolehkan dalam Islam?
Dr. Raghib As-Sirjani dalam bukunya Nabi Sang Penyayang menyebutkan bahwa sebagai bentuk kemudahan, Allah SWT mewajibkan haji satu kali seumur hidup. Hal ini merupakan bentuk kasih sayang yang sangat besar dan menjadi solusi dari permasalahan-permasalahan manusia secara umum.
Pada suatu hari Rasulullah SAW berdiri di hadapan manusia seraya bersabda, “Wahai manusia, Allah SWT telah mewajibkan haji terhadap kalian. Oleh karena itu, tunaikanlah ibadah haji.”
Kemudian ada seseorang yang berkata, “Wahai Rasulullah, apakah itu wajib dilaksanakan setiap tahun?” Lalu Rasulullah SAW terdiam, sehingga orang itu mengulangi pertanyaannya sampai tiga kali.
Lantas Rasulullah SAW bersabda, “Seandainya aku mengatakan ya, niscaya ia akan menjadi sebuah kewajiban untuk dilaksanakan setiap tahun, maka kalian tidak akan bisa melakukannya dengan sebaik-baiknya dan jika kalian tidak melakukannya, maka hukumnya akan menjadi haram.”
Lalu beliau melanjutkan sabdanya, “Biarkanlah aku dengan apa yang aku katakan terhadap kalian, karena orang-orang sebelum kalian menjadi hancur, disebabkan banyak bertanya dan bertentangan terhadap nabi-nabi mereka. Jika aku memerintahkan sesuatu kepada kalian, maka laksanakanlah sesuai dengan kemampuan kalian. Jika aku melarang sesuatu kepada kalian, maka tinggalkanlah.”
[Shahih Muslim, Kitab Al-Hajj, Bab Fardh Al Hajj Marratan fi Al-Umr (1377); Musnad Ahmad (10615); Sunan Al-Baihaqi Al-Kubra (8398)]
Dalam hal ini, Rasulullah SAW mampu melaksanakan haji setiap tahun bahkan jauh di dalam lubuk hati beliau sangat merindukan ibadah mulia ini. Akan tetapi, beliau menginginkan permasalahan tersebut diukur sesuai dengan kemampuan kaum muslimin secara umum. Solusi ini tentunya diambil dengan mempertimbangkan banyak hal, bisa saja di antara mereka ada yang lemah, tua renta, wanita, bahkan ada pula yang pekerjaannya terlampau sibuk.
Ibadah Haji Sekali Seumur Hidup
Melansir laman resmi NU Online (14/3/2023), kewajiban haji dan umrah sekali seumur hidup juga setidaknya didasarkan pada keterangan hadits baik perbuatan maupun perkataan Nabi Muhammad SAW sebagaimana keterangan As-Syarbini berikut ini:
لأنه صلى الله عليه وسلم لم يحج بعد فرض الحج إلا مرة واحدة، وهي حجة الوداع ولخبر مسلم أحجنا هذا لعامنا أم للأبد؟ قال لا بل للأبد
Artinya, “Karena Rasulullah SAW tidak berhaji setelah datang kewajiban haji kecuali sekali, yaitu haji wada; dan karena hadits riwayat Muslim, ‘Apakah haji kita untuk tahun ini atau untuk selamanya?’ sahabat bertanya. ‘Tidak (untuk tahun ini), tetapi selamanya,’ jawab Rasul,” (As-Syarbini, Mughnil Muhtaj ila Ma’rifati Ma’ani Alfazhil Minhaj, [Beirut, Darul Ma’rifah: 1997 M/1418 H], juz I, halaman 673).
Adapun Syekh Sulaiman Bujairimi menerangkan bahwa Allah hanya mewajibkan ibadah haji dan umrah seumur hidup sekali sebagai rahmat dari-Nya. Allah membedakan intensitas kewajiban haji dan umrah dengan ibadah lainnya yaitu sholat, puasa, dan zakat mengingat tingkat kesulitan pelaksanaan haji dan umrah yang berbeda dengan rukun Islam lainnya.
قَوْلُهُ: (وَلَا يَجِبُ بِأَصْلِ الشَّرْعِ إلَّا مَرَّةً وَاحِدَةً) فَإِنْ قُلْت: فَلِأَيِّ شَيْءٍ لَمْ تَجِبْ الْعُمْرَةُ وَالْحَجُّ إلَّا مَرَّةً وَاحِدَةً فِي الْعُمْرِ؟ وَلِمَ لَمْ يَتَكَرَّرْ كَالصَّلَوَاتِ وَالصَّوْمِ وَالزَّكَاةِ وَالطَّهَارَةِ؟ فَالْجَوَابُ: إنَّمَا فَعَلَ الْحَقُّ ذَلِكَ رَحْمَةً بِخَلْقِهِ مِنْ حَيْثُ إنَّ رَحْمَتَهُ سَبَقَتْ غَضَبَهُ، فَخَفَّفَ فِيهِمَا لِعِظَمِ الْمَشَقَّةِ فِي فِعْلِهِمَا غَالِبًا، لَا سِيَّمَا مَنْ أَتَى مِنْ مَسِيرَةِ سَنَةٍ؛ بِخِلَافِ الطَّهَارَةِ وَالصَّلَاةِ وَالصَّوْمِ وَغَيْرِهَا
Artinya, “Redaksi (haji tidak wajib berdasarkan pokok syariat kecuali sekali saja), bila kau bertanya, ‘Mengapa haji dan umrah hanya wajib seumur hidup sekali? Mengapa keduanya tidak menjadi kewajiban yang berulang seperti shalat, puasa, zakat, dan bersuci?’ Tentu jawabnya, ‘Allah membuat ketentuan demikian sebagai bentuk rahmat terhadap makhluk-Nya di mana rahmat-Nya mendahului murka-Nya sehingga Allah meringankan kedua ibadah tersebut karena tingkat kesulitan pelaksanaan keduanya secara umum, terlebih lagi jamaah yang menempuh durasi perjalanan setahun, berbeda dengan bersuci, shalat, puasa, dan ibadah wajib lainnya,'” (Lihat Syekh Sulaiman Bujairimi, Bujairimi alal Khatib, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyyah: 1996 M/1417 H], juz III, halaman 179-180).
Hukum Ibadah Haji: Wajib, Sunnah, dan Makruh
Pada dasarnya, hukum yang berlaku dalam Islam memerlukan beberapa ketentuan yang membuatnya bisa diklasifikasikan sebagai bagian dari haram, makruh, wajib, sunnah, dan lain sebagainya. Hal ini dikarenakan perlu ditinjau dari keadaan dan kondisi dari seseorang yang melaksanakan ibadah.
Apabila seseorang bernazar haji, maka ia wajib melunasinya. Lain halnya apabila tidak melakukan nazar tetapi belum sempat berhaji dan telah memenuhi syarat sah haji. Dalam hal ini, satu sebab berarti satu pelaksanaan haji.
Sayyid Haydar Al-Amuli dalam bukunya Makrifat Ibadah menjelaskan bahwa dua fardhu tidak boleh dilakukan dalam satu kali pelaksanaan. Jika dua sebab dilakukan dalam satu pelaksanaan, kedua sebab itu tidak gugur.
Meskipun ada riwayat yang menyebutkan bahwa jika seseorang melaksanakan haji karena nadzar maka ia juga memenuhi haji wajibnya sebagai muslim, tetapi sikap kehati-hatian lebih diutamakan.
Adapun menurut pakar fikih asal Irak, Ibrahim Yazid An-Nakhai, walaupun hadits Rasulullah SAW menyatakan bahwa haji yang kedua dan seterusnya adalah sunnah, namun hukum itu bisa berubah manakala ada atau tidak ada illat (alasan) yang mengikutinya. Kaidah usul fikih menyebutkan, hukum itu beredar (berlaku) sesuai dengan ada atau tidaknya illat.
Dilansir dari laman resmi Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH), menurut Ibrahim An-Nakhai, berhaji lebih dari sekali yang hukum asalnya sunnah bisa menjadi makruh. Alasannya, apabila ada orang yang belum pergi haji dan ingin berangkat, namun gagal karena terbatasnya kuota, sementara di dalamnya ada orang yang sudah berhaji, maka hukumnya makruh.
Banyak alim ulama menyarankan apabila seseorang memiliki rezeki yang cukup untuk berangkat haji lebih dari sekali, maka alangkah baiknya apabila rezeki tersebut dialokasikan untuk sedekah kepada orang-orang terdekat yang membutuhkan, seperti misalnya fakir miskin, korban bencana alam, dan juga anak yatim. Nilai pahalanya yang juga sama besarnya.
Demikian penjelasan terkait hukum melaksanakan haji lebih dari satu kali. Semoga dapat memberikan pencerahan, ilmu, dan manfaat bagi kita semua.
Simak Video “554 Jemaah Haji Tasikmalaya Batalkan Keberangkatan, Apa Alasannya?“
(dvs/dvs)