PERJALANAN ke dalam hutan hingga ke pos ketiga mengendarai ojek memakan waktu tempuh 45 menit. Hanya saja, rombongan berhenti di setiap pos, sehingga pulang pergi membutuhkan 2,5 jam. Sedangkan berjalan kaki, butuh 2 jam perjalanan dari desa ke titik ketiga.
Sekembalinya para wartawan dan wartawati dari pedalaman Hutan Hujan Tropis Pegunungan Meratus. Kepala Desa Belangian atau di Banjar disebut pembakalan, Aunul Khair, menyambut rombongan pertama yang masuk hutan dan mempersilakan ‘bubuhannya’ (dalam bahasa Banjar, orang-orang semua) untuk makan siang.
Entah lapar jadinya begitu ditawarin makan. Tak ada kata A…i…u. Semua beranjak ke meja persegi panjang yang di atas nya telah tersaji lauk intalo masak habang atau telur rebus sambal merah yang di belah dua di dalam ceper. Lalu, ikan nila goreng yang juga diletakkan di dalam ceper. Kemudian sayur masak santan makanan khas Banjar di dalam panci besar.
Para jurnalis berkerumun di depan meja, ada yang mempertanyakan nama masakan dan komposisi bahannya dari apa? Juga ada yang mengambil makanan untuk di santap langsung, lapar, katanya.
Selesai makan. Bagi yang muslim melaksanakan salat. Setelah nya para wartawan tulis diarahkan ke balai desa. Disana Pembakalan Desa menceritakan mulanya desa tersebut terbentuk.
Dulunya tahun 1965, mereka semua merupakan warga Desa Kalaan yang dikarenakan adanya pembangunan Waduk Riam Kanan di kawasan tersebut, harus pindah. Mulai tahun 70 an mereka di relokasi dan tahun 1973 waduk diresmikan oleh Presiden RI Soeharto, kala itu.
Tahun 70 an mereka pindah ke Liang Hantu. Lalu, oleh pihak waduk menyebutkan bahwa Desa Liang hantu akan tenggelam juga. Makanya warga pun pindah lagi ke yang lebih tinggi dan di posisi desa sekarang ini. Kemudian desa dimekarkan dan tahun 1982 ditabalkan sebagai desa definitif.
Lalu tokoh-tokoh Desa Belangian pada saat itu mengambil nama dari sebuah teluk atau telaga Belangian, maka diambil lah dari nama teluk itu.
Belangian berasal dari bahasa dayak yaitu terdiri dari dua kata ‘balai’ dan ‘ngian’, balai artinya tempat pertemuan dan ngian artinya makhluk halus jadi tempat pertemuan makhluk halus.
Yang menguatkan dari arti belangian yaitu ada acara adat yang diselenggarakan di teluk belangian dan diberi nama memberi makan hutan yang digelar setahun sekali dengan menyediakan sesajen dan mengundang makhluk-makhluk halus yang ada di segala penjuru Riam Kanan.
Sebenarnya, ujar Pembakalan desa, letak Teluk Langian sebagai lokasi sesajen, berada tidak jauh di sebelah kanan jembatan gantung. Dulunya, pendahulu mereka masih meyakini keberadaan makhluk astral tersebut, makanya kerap melakukan ritual sesajen.
Ada cerita mistis yang menyebar awal mula warga pindah kesana. Dimana, beberapa warga yang dapat melihat makhluk halus gentayangan, memberitahukan bahwa mereka minta diberikan makanan. Dan yang bisa melihat makhluk tak kasat mata itu, meyakini diantara makhluk ghaib itu, ada warga desa setempat yang pernah hilang.
Jadi lah mereka mengadakan upacara adat di Teluk Langian setempat, memberikan sesajen agar tak diganggu atau memberi makan warga desa yang hilang tadi.
Meski awal mula cerita mistis berseliweran di desa setempat, namun warga disana sangat ramah-ramah ketika menyambut siapapun yang datang ke desanya. Senyum lebar pun tak henti merekah dari bibir warga. Seolah pupus dengan cerita yang bikin berdiri bulu kuduk tadi.
Geosite Sosial Budaya
Ditambahkan Pembakalan Desa Belangian, Aunul Khair, jumlah penduduk 105 Kepala Keluarga (KK) dengan jiwa 350 orang, dan kesemuanya Suku Banjar.
Di desa mereka, ada edukasi pertanian yakni wisata menanam dan edukasi kerajian. Kerajinan yang dilakukan warga setempat, yakni membuat Sasirangan Ekotrin, dimana kain sasirangannya memadupadankan antara sasirangan dan ekotrin.
Dan, kata Aunul Khair, Sasirangan Ekotrin ini merupakan bagian sosial budaya yang masuk dalam salah satu Geosite Geopark Meratus. Mengapa masuk Geosite, ini dikarenakan prosuksi kain sasirangan di desa mereka berbeda dengan sasirangan di Kalsel lainnya.
Mengapa? Sebab bahan baku perwarnaan semua dari alam yang ada disekitar desa, seperti pewarnaan dari serbuk kayu ulin, kulit alasan, kunyit, rambutan dan dari pohon yang ada di hutan.
Begitu juga motif daunnya, semua dari alam. Dan uniknya tidak ada bentuk daun yang berbentuk serupa, sehingga kekhasan inilah yang menjadi incaran pelancong berburu Sasirangan Ekotrin asal Desa Belangian.
Diungkapkannya, ada dua cara pembuatan kain sasirangan ekotrin ini, yang pertama dengan cara di pukul pukul setelah daunnya dijumput, supaya lengket motifnya dikain. Lalu, sistem kukus, yang waktunya agak lama dibanding di pukul.
“Kelebihannya tidak ada motif yang sama, karena daunnya sebagai bahan nya tidak ada yang sama bentuknya,” ujarnya.
Jadi di Desa Belangian ini, ada tiga geosite dari 70 an geosite Geopark Meratus. Pertama Pohon Binuang Laki, dan kedua Batu Ampar. Batu berwarna hitam yang berusia jutaan tahun. Lalu, ketiga, adalah Kain Sasirangan Ekotrin ini. Geosite kain sasirangan ekotrin ini masuk kategori geosite sosial budaya.
Ada hal lain lagi, kata Pembakalan Desa Belangian, ini yakni cara warga menjaga hutan, dimana setiap warga memiliki tanggungjawab memelihara sebatang pohon. Jadi kalau pohonnya hilang itu merupakan tanggungjawab si pemelihara.
“Warga desa punya kepercayaan saja terhadap si pemelihara. Dan selama ini pohon yang ditanggungjawabi masih berdiri kokoh. Meski tidak ada sanksi jika pohonnya tiada, namun setiap warga tetap komit menjaga pohon yang dititipkan ke mereka,” sebutnya.
Lomba Menulis Geopark Meratus
Setelah 45 menit Pembalakan Desa dan Mantan Ketua Kelompok Sadar Wisata (Pok Darwis) Desa Belangian, Asparani, menerangkan tentang desa setempat. Kemudian Ketua Siwo PWI Pusat, Agus Susanto mempersilakan wartawan dan wartawati yang ikut untuk memulai menulis untuk dilombakan sebagai bagian dari nomor perlombaan di kegiatan Pekan Olahraga Wartawan Nasional (Porwanas) Kalimantan Selatan tahun 2024
Saya dan Suryadi dari PWI Aceh, mulai menulis dengan angel masing-masing, termasuk yang lainnya. Parahnya, seolah kembali ke zaman batu. Tak ada jaringan signal jasa telekomunikasi Telkomsel atau lainnya di desa tersebut, sehingga tak bisa meminta bantuan google, hanya sekadar mencari arti kata.
Dengan ingatan di kepala, mulai dari berangkat, masuk dan menembus Pedalaman Pegunungan Meratus yang masuk dalam Geopark Meratus, hingga yang diterangkan Pembakalan Desa, para wartawan dan wartawati menulis yang diberikan tenggat waktu dua jam.
Saya memilih tentang Pesona Pohon Binuang Laki berumur tua dan tersembunyinya Batu Ampar yang berusia jutaan tahun.
Dan seperti ajaran wartawan senior untuk mengedit ulang tulisan yang telah dibuat. Namun, dikarenakan saya menulis di handphone, ada saja salah kata, meski telah di edit kembali.
Waktu telah menunjukkan setengah lima sore. Selesai sudah waktu yang diberikan untuk menulis yang tidak ditentukan berapa jumlah karakternya. Dan saat diserahkan hasil tulisan karya jurnalistik wartawan dan wartawati, panitia atau LO kelabakan sendiri gegara tak ada jaringan untuk mentranfer beritanya.
Akhirnya panitia meminta dikirimkan ke email salah satu panitia hasil tulisan, lalu, memfoto kiriman tersebut sebagai bukti telah dikirim ke email. Sedangkan peserta lomba yang menggunakan laptop, memindahkannya dengan plasdisk.
Saat wartawati dan wartawan menulis, kloter kedua Videografer dan ketiga Fotografer yang masuk ke Pedalaman Pegunungan Meratus, telah kembali ke desa.
Selesai sudah kegiatan wartawan dan wartawati di Desa Belangian yang menyisakan cerita mistis tentang lokasi pertemuan dengan makhluk astral.
Rombongan pun balik kanan. Klotok telah menunggu di dermaga pintu masuk ke desa. Semua menaiki klotok yang sama saat berangkat tadi. Dalam perjalanan dari Desa Belangian mengarungi Waduk Riam Kanan, terasa sunyi. Tak ada celoteh dari para jurnalis. Entah sudah menuangkan ceritanya dalam tulisan tadi atau tiada daya karena kelelahan. Hanya mereka lah yang bisa menjawabnya.
Namun di pertengahan perjalanan. Rombongan peserta karya jurnalistik disuguhi pemandangan senja yang begitu menakjubkan. Hingga sunset tenggelam, tibalah kami di tepian waduk dan masing-masing diantara kami memasuki bus.
Perjalanan terasa panjang kembali ke Kota Banjarmasin. Saya dan beberapa orang terlelap lagi di dalam bus. Hingga terbangun setibanya di mantan ibukota Provinsi Kalimantan Selatan, ini.
Selang beberapa hari atau tepatnya di malam penutupan Porwanas Kalsel di Mahligai Pancasila—pendopo gubernuran semasa Banjarmasin sebagai ibukota Provinsi Kalsel—, Suryadi, Almuzammil, Ichdar Ifan, dan Munzir Budiana memperoleh masing-masing medali perunggu dari karya jurnalistik untuk kontingen PWI Aceh.
Malam terakhir di Banjarmasin, ini bukan pertemuan dengan makhluk astral, namun pertemuan mendapat medali yang dinanti-nanti bagi yang pergi mengikuti Porwanas, pastinya. Semangat menembus pedalaman meratus pun membuahkan hasil menambah medali bagi PWI Aceh.