Akhir tahun lalu, publik dihebohkan dengan berita tentang 311 mahasiswa yang terperangkap dalam utang pinjaman online (pinjol). Sejak pandemi COVID-19, banyak kelompok masyarakat Indonesia, termasuk anak muda, yang terjerat utang karena beragam faktor, seperti pemutusan hubungan kerja (PHK), kenaikan harga bahan pokok, krisis global, dan kebutuhan aktivitas daring yang semakin masif karena kerja dan pembelajaran jarak jauh.
Ketika masyarakat semakin terjerat utang, muncul pertanyaan mengenai bagaimana utang bisa menjadi candu, memperkuat kesenjangan, dan menimbulkan dampak psikologis. Pada awalnya, utang hanya merupakan bentuk relasi sosial sederhana yang berkaitan dengan jasa, balas budi, barter, dan aktivitas sosial-ekonomi kemanusiaan sehari-hari. Namun, dengan berkembangnya sistem keuangan, jenis-jenis utang pun menjadi semakin variatif.
Menurut catatan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), generasi Z (saat ini berusia 19-25 tahun) dan milenial (26-35 tahun) menjadi kelompok usia yang paling banyak berutang pada tahun 2021 dengan nilai pinjaman online mencapai Rp 14,74 triliun. Di antara anak muda, penggunaan layanan paylater semakin meningkat. Survei perilaku keuangan generasi milenial dan Z tahun 2021 menemukan bahwa sebesar 13,8% generasi milenial dan Z menggunakan layanan paylater. Sementara itu, 33,1% dari total 5.204 responden mengaku kondisi keuangannya memburuk selama pandemi.
Banyak anak muda yang kemudian mengandalkan utang, khususnya layanan paylater yang mudah diakses secara digital, sebagai cara menyambung hidup. Sayangnya, layanan paylater sering kali memakan korban. Banyak orang yang tidak mampu mengajukan kredit rumah karena tunggakan paylater yang menggunung.
Kelompok masyarakat yang paling terkait dengan penggunaan paylater adalah kelompok dengan kondisi ekonomi yang lemah. Kemudahan akses utang dan kurangnya pembatasan atau regulasi pemerintah menjadikan masalah ini semakin parah. Utang pun harus dipahami sebagai isu politik dan moral, yang terkadang memperlebar kesenjangan dan ketidakadilan di masyarakat, terutama di negara berkembang.
Dampak psikologis juga merupakan hal yang perlu diperhatikan. Riset di Australia menemukan bahwa individu yang terjerat utang mengalami gangguan kecemasan, rasa malu, rasa tidak berdaya, isolasi diri, stres, dan masalah tidur. Ironisnya, individu yang berutang sering dituduh lalai dalam mengelola keuangannya, padahal situasinya jauh lebih kompleks dari itu.
Isu utang anak muda menjadi topik yang perlu diteliti lebih jauh lagi untuk menemukan solusi yang tepat.