Sejumlah upaya dilakukan pemerintah untuk merawat budaya di seluruh nusantara, mulai dari pembinaan hingga pemberian wadah untuk membangun ekosistem dan menjaga eksistensi budaya yang mulai memudar seiring berjalannya waktu. Itu semua diwujudkan melalui program Dana Indonesiana, yakni bantuan pemerintah yang ditujukan kepada para pelaku kebudayaan melalui penggunaan Dana Abadi Kebudayaan.
Direktur Pembinaan dan Pemanfaatan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) Restu Gunawan mengatakan, Dana Indonesiana tidak hanya diperuntukkan bagi kegiatan kebudayaan dan komunitas budaya saja, namun juga bagi kegiatan yang mempunyai kepentingan. sudah lama dihentikan atau ditunda dan dapat diaktifkan kembali. Oleh karena itu, setiap orang atau kelompok seni dapat mengajukan dana ini untuk melaksanakan kreativitasnya.
“Melalui Dana Indonesiana bukan pemerintah yang membuat acara, tapi ide dan idenya datang dari masyarakat, mereka yang membuat rencana, kita fasilitasi sesuai kemampuan kita melalui dana abadi budaya,” kata Restu di Jakarta, Selasa (19 /9/2023).
Sasaran penerima manfaat Dana Indonesiana meliputi individu, komunitas atau organisasi kebudayaan, serta lembaga yang bergerak di bidang kebudayaan. Program pengabdian yang ditawarkan adalah dukungan kelembagaan, pembelajaran bersama maestro; produksi kegiatan kebudayaan, seperti pemanfaatan ruang publik, bioskop mikro, dan kegiatan strategis; produksi media, seperti dokumentasi karya/ilmu seorang maestro, karya kreatif inovatif, dana pendamping untuk distribusi internasional, dan dana pendamping untuk karya unggulan. Program pengabdian lainnya akan ditentukan oleh Dewan Pengawas.
Program kerjasama Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dengan Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) ini memiliki alokasi dana sebesar Rp3 triliun pada tahun 2022 dan akan meningkat menjadi Rp5 triliun yang akan dikelola oleh LPDP. Namun pencairan dana abadi biasanya dilakukan pada akhir tahun. Alokasi dana ini sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. Dengan begitu, para pelaku seni dan budaya bisa termotivasi untuk memajukan kebudayaan tanah air.
Restu mengatakan, penerima Dana Indonesiana tidak sekedar menerima uang, mereka harus berkomitmen untuk menggalakkan sejumlah upaya menghidupkan kembali budaya yang diusulkannya. Apalagi penerimanya dituntut mampu memberikan dampak ekonomi kepada masyarakat sekitar dari idenya.
“Pola pikir harus diubah, budaya bukan pengeluaran, budaya harus menjadi investasi. Kalau kita melihatnya sebagai investasi, kapan kita mengiringinya, apakah acara itu menggerakkan perekonomian atau tidak dan menghidupkan ekosistem budaya atau tidak. Itu hanya pertunjukan ya, itu hanya pengeluaran,” ujarnya.
Baca Juga: Menghidupkan Kembali Praktik Budaya untuk Melestarikan Bumi
Menurut Restu, kenyataan terkadang tidak selalu sesuai ekspektasi, cukup banyak upaya yang belum maksimal untuk menghidupkan kembali kebudayaan melalui program Dana Indonesiana. Ia berharap acara kebudayaan yang diselenggarakan dengan menggunakan Dana Indonesiana ini dapat terus berlanjut dan menjadi budaya yang kembali mengakar di daerah.
“Tidak gagal, tapi ada perkembangan yang pesat dan ada perkembangan yang stabil. Kita akan pendekatan lagi. Kita ingin semua pihak memiliki, bahkan membutuhkan, budaya itu. Kalau perlu bisa menjadi pemimpin di daerah, “ucap Restu.
Ahmad Syarani (47), seniman madihin asal Banjarmasin, Kalimantan Selatan, juga berharap pada budaya tradisional mamasar mengambang ke pasar Apung Muara Kuin, cikal bakal pasar terapung di Kalimantan, kembali hidup. Ia berharap kegiatan kebudayaan seperti Pekan Kebudayaan Pra Nasional atau PKN 2023 yang digelar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan di Dermaga Pasar Terapung Muara Kuin pada 9 September 2023 tidak hanya bersifat seremonial.
“Kalau di darat boleh saja, tapi yang di sungai jangan dibiarkan, ini harus mengakar. Jadi, bukan sekadar festival, festival itu hanya penampilan saja, tidak mengakar pada budaya masyarakat di sini. “ucap Ahmad.
Ahmad tidak bisa membayangkan budayanya seperti apa mamasar mengambang di Pasar Terapung Muara Kuin sudah punah total. Saat ini hanya tersisa belasan pedagang yang masih berjualan jukung atau sampan dalam bahasa Banjar.
Budaya mamasar mengambang Generasi muda semakin ditinggalkan seiring dengan berkembangnya infrastruktur di darat, terutama sejak berdirinya Jembatan Barito pada tahun 1997. Jembatan yang menghubungkan Kabupaten Barito Kuala dan Kota Banjarmasin telah mengubah kebiasaan berdagang antar daerah.
Saat ini generasi muda lebih banyak menggunakan sepeda motor dan mobil dibandingkan jukung untuk beraktivitas. Jalur sungai dan kanal di kota berjuluk “Seribu Sungai” ini mulai ditinggalkan.
Dengan menjadi pamadihinan, Ahmad ingin mengenalkan generasi muda untuk terus melestarikan budaya yang sudah ada sejak abad ke-14 dan semakin hebat ketika Kerajaan Banjar berdiri pada pertengahan abad ke-16. Pamadihinan adalah sebutan bagi seniman madihin di Banjarmasin, Kalimantan Selatan.
Nyanyian Madihin Ahmad tak hanya terdengar di Banjarmasin. Pria berusia 47 tahun itu kerap diundang tampil di berbagai negara, seperti Brunei Darussalam, Malaysia, Singapura, Arab Saudi, dan Hong Kong.