Tahun ini jemaah haji harus membayar Rp49,81 juta, atau naik 24,8 persen dibandingkan tahun sebelumnya. ANTARA FOTO/ Didik Suhartono
Di Balik Biaya Haji 2023
Ada sejumlah pertimbangan untuk menentukan angka terbaru dari Bipih 2023, salah satunya adalah masalah konsumsi.
Pemerintah dan DPR baru saja menyepakati biaya perjalanan ibadah haji. Tahun ini jemaah haji harus membayar Rp49,81 juta, atau naik 24,8 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Tahun lalu, jemaah membayar Rp39,88 juta.
Tercapainya kesepakatan biaya perjalanan ibadah haji itu tentu patut diapresiasi. Meski sebelumnya sempat terjadi tarik-menarik dalam hal penetapan biaya. Kesepakatan yang diraih Pemerintah dan DPR itu memberikan kepastian bagi calon jemaah haji Indonesia.
Wakil Ketua Komisi VIII DPR sekaligus Ketua Panja BPIH Marwan Dasopang mengatakan, dengan kesepakatan biaya perjalanan ibadah haji (Bipih) tahun ini, biaya perjalanan haji ditanggung dua pihak. Pertama, calon jemaah haji menanggung biaya penyelenggaraan haji sekitar 55,3 persen dari total Bipih 2023 sebesar Rp90,05 juta, atau setara dengan Rp49,81 juta.
Kedua, komponen biaya 44,7 persen atau setara dengan Rp40,23 juta akan ditalangi oleh subsidi yang berasal dari nilai manfaat dana haji yang dikelola oleh Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH). “Panja Komisi VII DPR tentang Bipih tahun 1444 H/2023 M dan Panja Pemerintah RI menyepakati besaran rata-rata Bipih 2023 per jemaah untuk jemaah haji reguler sebesar Rp90.050.637,26,” ujar Marwan.
Apa saja komponen biaya penyelenggaraan ibadah haji 2023 sebesar Rp90,05 juta itu? Pertama ada biaya penerbangan dari embarkasi ke Arab Saudi (PP) sebesar Rp32,74 juta, lalu biaya hidup Rp3,03 juta, dan paket layanan Masyair sebesar Rp14,03 juta.
Berkaitan dengan itu, Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kemenag Hilman Latief menyampaikan, rerata biaya sebesar Rp90,05 juta didapat setelah mengombinasikan dengan harga terbaru maupun layanan Masyair untuk tahun ini. Ada sejumlah pertimbangan dan yang menjadi sorotan dalam diskusi untuk menentukan angka terbaru dari Bipih 2023, salah satunya adalah masalah konsumsi.
Diketahui, sebelumnya jemaah haji Indonesia mendapatkan konsumsi sebanyak 40 kali di Makkah dan 18 kali di Madinah. Dengan berbagai pertimbangan, Kemenag memutuskan untuk menambah jatah konsumsi menjadi 4 kali untuk 2 hari jelang Armuzna, sehingga jika ditotal konsumsi yang didapatkan adalah sebanyak 44 kali di Makkah.
Sebelum mencapai kesepakatan di angka Rp49,81 juta, Kemenag mengusulkan Bipih 1444 H/2023 M sebesar Rp69.19 juta per jemaah. Alasan yang dikemukakan pemerintah itu merujuk pada perubahan komposisi biaya yang akan dibebankan jemaah haji dan komponen yang anggarannya dialokasikan dari nilai manfaat (optimalisasi) dana haji.
Khusus soal pengelolaan dana haji, Dirjen Hilman mengemukakan, pemanfaatan dana nilai manfaat sejak 2010 sampai dengan 2022 terus mengalami peningkatan. Pada 2010, nilai manfaat dari hasil pengelolaan dana setoran awal yang diberikan ke jemaah hanya Rp4,45 juta.
Sementara itu, Bipih yang harus dibayar jemaah sebesar Rp30,05 juta. Komposisi nilai manfaat hanya 13 persen dan Bipih 87 persen.
Dalam perkembangan selanjutnya, komposisi nilai manfaat terus membesar menjadi 19 persen (2011 dan 2012), 25 persen (2013), 32 persen (2014), 39 persen (2015), 42 persen (2016), 44 persen (2017), dan 49 persen (2018 dan 2019).
Penggunaan skema nilai manfaat 2019 sudah tidak tepat lagi untuk operasional haji 2022. Penyebabnya, Arab Saudi menaikkan layanan biaya Masyair secara signifikan jelang dimulainya operasional haji 2022. Di sisi lain, jemaah sudah melakukan pelunasan bagi yang mendapatkan jadwal berangkat pada tahun itu.
“Kondisi ini sudah tidak normal dan harus disikapi dengan bijak,” jelas Dirjen Hilman.
Jika komposisi Bipih dan nilai manfaat masih tidak proporsional, maka nilai manfaat akan cepat tergerus dan tidak sehat untuk pembiayaan haji jangka panjang. “Jika komposisi Bipih (41 persen) dan nilai manfaat (59 persen), dipertahankan, diperkirakan nilai manfaat cepat habis. Padahal, jemaah yang menunggu 5–10 tahun akan datang juga berhak atas nilai manfaat,” ujarnya.
Dirjen Hilman Latief juga menerangkan nilai manfaat dana haji bersumber dari hasil pengelolaan dana haji yang dilakukan Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH).
Oleh karenanya, nilai manfaat adalah hak seluruh jemaah haji Indonesia, termasuk lebih dari 5 juta yang masih menunggu antrean berangkat. Jadi, mulai sekarang dan seterusnya, nilai manfaat harus digunakan secara berkeadilan guna menjaga keberlanjutan.
“Tentu kami juga mendorong BPKH untuk terus meningkatkan investasinya baik di dalam maupun luar negeri pascapandemi Covid-19 ini, sehingga kesediaan nilai manfaat lebih tinggi lagi,” tambahnya.
Terkait itu pulalah, Dirjen Hilman mengatakan, pemerintah mengusulkan skema menjadi Bipih (70 persen) dan nilai manfaat (30 persen). “Mungkin usulan ini tidak populer, tapi Pak Menteri melakukan ini demi melindungi hak nilai manfaat seluruh jemaah haji sekaligus menjaga keberlanjutannya,” tegasnya.
Sementara itu, Menag Yaqut Cholil Qoumas menegaskan, tujuan pemerintah mengajukan proposal kebijakan formulasi komponen biaya penyelenggaraan ibadah haji semata untuk menyeimbangkan antara besaran beban jemaah dengan keberlangsungan dana nilai manfaat Bipih di masa yang akan datang.
Menurut Menag Yaqut, pembebanan biaya haji harus menjaga prinsip istitha’ah (berkemampuan) dan likuiditas penyelenggaraan ibadah haji tahun-tahun berikutnya. “Itu usulan pemerintah. Menurut kami, itu yang paling logis untuk menjaga supaya yang ada di BPKH itu tidak tergerus, ya dengan komposisi seperti itu,” ungkap Menag.
Dengan tercapainya kesepakatan biaya penyelenggaraan ibadah haji, yang basisnya dari dana jemaah dan dana haji kelolaan, harus tercipta kondisi yang sehat, berkeadilan, dan berkelanjutan. Sebab patut diingat, dana kelolaan haji bukan hanya hak jemaah yang akan berangkat, melainkan juga hak jemaah haji tunggu (waiting list) yang saat ini berjumlah 5 juta orang. Harapannya, penyelenggaraan ibadah haji di masa mendatang menjadi lebih baik lagi.
Penulis: Firman Hidranto
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari
Anda dapat menyiarkan ulang, menulis ulang, dan atau menyalin konten ini dengan mencantumkan sumber Indonesia.go.id