Puluhan mahasiswa dan pelajar hadir dari berbagai daerah di Kalimantan Selatan pada akhir tahun lalu. Hari itu, GreenFaith Indonesia bersama Pimpinan Daerah (PW) Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, dan DPD Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Kalsel menggelar talkshow tentang keadilan iklim di SD Alam Muhammadiyah Martapura. Puluhan mahasiswa dan pelajar hadir dari berbagai daerah di Kalsel.
Dalam pertemuan tersebut, sejumlah mahasiswa memberikan kesaksian tentang dampak buruk pertambangan batu bara yang melahirkan berbagai bencana dan mempercepat krisis pangan. Salah satu contohnya, di banyak desa, buah durian belum berbuah sejak ada tambang batu bara. Kesehatan masyarakat yang tinggal di dekat tambang batu bara terus memburuk dengan gejala gangguan pernapasan dan gangguan kulit.
Pertemuan ini menunjukkan betapa pentingnya generasi muda untuk terlibat aktif dalam isu krisis lingkungan dan mengambil peran menjaga ekologi. Orang-orang muda yang akan mewarisi bumi ini.
Jika tidak berbuat apa-apa, masyarakat harus menerima penderitaan berkepanjangan akibat kegiatan ekonomi ekstraktif yang mengundang bencana sosial-ekologis.
KKrisis Kalimantan Selatan
Secara geografis, Kalimantan Selatan berada di bagian tenggara pulau Kalimantan, memiliki dataran rendah di pesisir barat dan timur, serta dataran tinggi yang dibentuk oleh Pegunungan Meratus di tengahnya. Dengan luas 38.744,00 km², jumlah penduduk 4.087.894 jiwa pada tahun 2020.
Kalimantan Selatan, memiliki dua karakteristik geografis utama, yaitu dataran rendah dan dataran tinggi. Dataran rendah sebagian besar merupakan lahan gambut, sungai dan rawa, menjadikannya sumber keanekaragaman hayati yang kaya bagi hewan air tawar.
Kawasan pesisir juga menjadi ciri khas provinsi ini. Di dataran tinggi, sebagian masih berupa hutan tropis alami. Secara administratif, provinsi ini memiliki 11 kabupaten dan dua kota.
Sayangnya, bumi Kalsel berdarah karena ekspansi pertambangan batu bara. Catatan Jaringan Advokasi Tambang Kalsel dan Walhi (2021), luas tambang batu bara di Bumi Lambung Mangkurat tercatat 1,2 juta hektare. Luas ini setara dengan 33% dari total luas Kalimantan Selatan. Data BPS (2020) menyebutkan produksi batubara sebanyak 76.508.203,71 ton.
Pertambangan memberikan dampak negatif berupa kerusakan lingkungan dan bencana ekologi terutama banjir.
Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Sepanjang tahun 2022, telah terjadi 3.514 bencana di Indonesia. Tiga bencana tertinggi adalah banjir 1.516 kali, cuaca ekstrem 1.054 kali, dan tanah longsor 634 kali. Lalu, 251 kebakaran hutan, 25 gelombang pasang dan empat kali kekeringan. Kemudian, ada 28 gempa bumi dan satu letusan gunung berapi.
Kedepannya, jika penambangan batu bara tidak dihentikan, akan lebih banyak lagi orang yang tidak bersalah menjadi korban. Lebih jauh, nasib puluhan juta anak muda dipastikan tidak akan mendapatkan lingkungan hidup yang baik, berkualitas, dan memadai.
Berdasarkan data yang dipublikasikan hasil kerjasama Universitas Oxford dengan sejumlah universitas dunia lainnya, yang dikemas dalam Satu Data Dunia, Disebutkan, setiap satu gigawatt listrik di PLTU yang dihasilkan dari batu bara menghasilkan 820 ton.
Sementara itu, setiap SATU pengasuh menyebabkan kematian lebih dari 24 orang. Dengan demikian, batu bara merupakan energi yang paling kotor karena menghasilkan emisi karbon dalam jumlah besar, sekaligus menjadi pembunuh karena menyebabkan kematian banyak orang.
Penambangan batu bara yang merupakan energi kotor tertua bisa disebut sebagai salah satu penyebab utama krisis iklim yang kini menjadi masalah dunia. Di sinilah pentingnya generasi muda untuk bangkit dan meraih masa depan planet bumi yang bersih, adil dan lestari.
Perangenergi Msudah
Generasi muda harus turun tangan untuk memutus mata rantai krisis yang sudah berlangsung lama karena keserakahan segelintir orang. Generasi muda memiliki tanggung jawab sekaligus legitimasi yang kuat untuk bertindak menyelamatkan bumi. Masa depan adalah hak mereka yang harus direbut.
Secara umum, generasi muda adalah kelompok orang yang paling peduli dengan nasib planet ini. Pada Januari 2021, Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) melakukan survei global mengenai topik tersebut Suara Iklim Rakyat. Survei ini merupakan survei opini publik terbesar tentang krisis iklim yang dilakukan di 50 negara yang mencakup 1,2 juta responden.
Di antara poin-poin penting dari survei ini adalah bahwa anak muda di bawah usia 18 tahun percaya bahwa krisis iklim adalah keadaan darurat global, lebih dari kelompok usia lainnya. Hampir 70% anak di bawah 18 tahun mengatakan bahwa krisis iklim adalah darurat global, dibandingkan dengan 65% dari mereka yang berusia 18-35 tahun, 66% dari mereka yang berusia 36-59 tahun, dan 58% dari mereka yang berusia di atas 60 tahun.
59% yang menyebut krisis iklim sebagai darurat global, mengatakan dunia harus segera melakukan semua yang diperlukan.
Mengapa kaum muda khawatir dengan krisis iklim? Di antara jawabannya, karena di masa depan, mereka akan mewarisi tanah yang rusak akibat pembangunan yang dipilih oleh generasi sekarang yang memegang kepemimpinan politik, baik di tingkat global maupun nasional.
Dengan demikian, pilihan pengembangan dan pengelolaan berbagai sumber daya alam bagi generasi sekarang akan berdampak sangat panjang dan luas bagi generasi mendatang.
Daya dukung dan daya tampung planet bumi sangat penting untuk diperhatikan tidak hanya untuk generasi sekarang, tetapi juga untuk generasi yang akan datang.
Dorongan keadilan iklim
Salah satu tujuan utama untuk kepentingan generasi muda adalah mewujudkan keadilan iklim. Keadilan iklim menempatkan keamanan alam dan masyarakat sebagai intinya. Secara konseptual, ada beberapa prinsip penting sebagai berikut:
Pertamamenegaskan kesucian bumi, kesatuan ekologis dan saling ketergantungan semua spesies. Kedua, menegaskan bahwa masyarakat berhak untuk bebas dari krisis iklim, dampak yang ditimbulkannya, dan bentuk-bentuk perusakan ekologis lainnya.
Ketiga, menegaskan hak-hak masyarakat adat dan masyarakat yang terkena dampak untuk mewakili dan berbicara untuk diri mereka sendiri. Keempat, tuntutan bahwa masyarakat yang terkena dampak terutama memainkan peran utama dalam proses nasional dan internasional untuk mengatasi krisis iklim.
Kelima, panggilan untuk pengakuan prinsip hutang ekologis yang harus dibayar oleh pemerintah, industri dan perusahaan transnasional ke seluruh dunia; Keenam, meminta pertanggungjawaban penuh bahan bakar fosil dan industri ekstraktif atas semua dampak siklus hidup masa lalu dan sekarang yang terkait dengan produksi gas rumah kaca dan polutan lokal terkait.
Ktujuh, menuntut sumber daya energi yang bersih, terbarukan, dikendalikan secara lokal, dan berdampak rendah demi kepentingan planet yang berkelanjutan bagi semua makhluk hidup.
Kdelapan, menyerukan moratorium semua eksplorasi baru dan eksploitasi bahan bakar fosil; moratorium pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir baru, dan penghentian penggunaan tenaga nuklir di seluruh dunia.
Kesembilan, menegaskan hak pemuda sebagai mitra setara dalam gerakan mengatasi perubahan iklim dan dampak terkaitnya. Kesepuluh, keadilan iklim menyerukan pendidikan generasi sekarang dan masa depan, menekankan isu-isu iklim, energi, sosial dan lingkungan, sambil memanfaatkan pengalaman kehidupan nyata dan apresiasi terhadap perspektif budaya yang beragam.
Dalam konteks diskursus agama, keadilan iklim cocok dan akan menemukan ruang dalam setiap ajaran agama. Agama, menurut Gary Gardner dalam bukunya Kemajuan yang Menginspirasi, telah berkontribusi pada isu keberlanjutan karena konsep utamanya didasarkan pada nilai-nilai ekologis.
Selain itu, agama dapat membantu menyelesaikan krisis karena memiliki penganut dan sumber daya material yang melimpah. Jika nilai-nilai, penganut, dan sumber daya ekologi ini diarahkan untuk menyelesaikan krisis ekologi sekaligus menegakkan keadilan iklim, perubahan besar akan terjadi.
Pada titik ini, generasi muda harus mengajak seluruh umat beragama untuk bersolidaritas dan saling memperkuat gerakan keadilan iklim guna membangun kehidupan yang berkeadilan, berkelanjutan, bernaung pada semangat keimanan yang melindungi dan menumbuhkan bumi.
Generasi muda dapat bersama-sama menciptakan arus perubahan berbasis iman yang transformatif, dari sekedar kebersamaan (co-existence) menjadi berjuang bersama (co-resistance).
Musuh bersama adalah krisis ekologi dan krisis iklim yang akan menyebabkan runtuhnya peradaban dan berujung pada kepunahan kehidupan. Krisis ini diciptakan oleh segelintir orang serakah yang mengeksploitasi bumi tanpa henti. Anak muda yang berjuang, sebenarnya politik harapan. Politik memelihara peradaban yang berkelanjutan.
********
*Penulis: David Efendi, adalah aktivis lingkungan di GreenFaith Indonesia. Parid Ridwanuddin adalah Eksekutif Nasional Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Walhi serta aktivis di GreenFaith Indonesia. Artikel ini adalah pendapat penulis.