TAPIN – Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) menyebut Beruang Madu masuk ke pemukiman warga Desa Teluk Haur dan Desa Batalas, Kabupaten Tapin, Kalimantan Selatan (Kalsel), akibat rusaknya habitat satwa dilindungi tersebut oleh perkebunan kelapa sawit. .
“Ekspansi kelapa sawit yang masif menjadi salah satu penyebab berkurangnya habitat Beruang Madu,” kata Kepala Resor Banua Anam, BKSDA Kalsel, Suhendra, seperti dilansir ANTARA, Senin, 10 Juli.
Seiring berjalannya waktu perluasan perkebunan sawit, lanjutnya, beruang madu mengalami kelaparan karena habitat yang terkait dengan sumber makanan berkurang sehingga masuk ke pemukiman.
“BKSDA mengetahui setelah ada laporan dari masyarakat terkait konflik dengan hewan,” ujarnya.
Sebelum perluasan perkebunan sawit, kata dia, kawasan hutan masih luas dan padat vegetasi yang dipenuhi berbagai pohon dan menjadi habitat beruang madu dan satwa liar lainnya, seperti macan dahan, trenggiling, dan bekantan.
“Dulu masih banyak pohon keras seperti pencemar,” kata Tokoh Masyarakat Desa Teluk Haur, Haji Nurhan (70) menambahkan.
Senada dengan BKSDA Kalsel, Nurhan yang sudah lama tinggal di Desa Teluk Haur juga mengatakan alih fungsi lahan menjadi penyebab munculnya Beruang Madu di pemukiman.
Perubahan fungsi habitat satwa tersebut juga disuarakan Staf Advokasi dan Manajer Kampanye Walhi Kalsel, Jefry Raharja, yang menyatakan sangat mungkin keberadaan perkebunan sawit menjadi faktor utama konflik manusia-beruang di Tapin. .
“Di Tapin sendiri, seperti yang terjadi di Desa Batalas, Desa Buas-buas, Desa Sawaja, Desa Teluk Haur dan desa-desa lain di sekitar atau di dalam wilayah Kecamatan Candi Laras Utara, telah dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit skala besar,” ujarnya. dikatakan.
Pada 2012, berdasarkan citra satelit, kata Jefry, kawasan itu masih rimbun dengan vegetasi, namun kini sudah tergantikan dengan perkebunan kelapa sawit.
“Dulu warga sempat menolak kehadiran perkebunan sawit skala besar, namun potensi konflik yang tinggi, sebagian warga yang masih menolak terpaksa menyerah pada perluasan sawit,” ujarnya.
Dia berharap, tata kelola perusahaan sawit harus didorong untuk dievaluasi untuk memastikan kepatuhan terhadap peraturan lingkungan.
“Seharusnya juga tidak ada izin baru dengan moratorium gambut berdasarkan Inpres No 5 Tahun 2019 tentang Penghentian Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut,” kata Jefry.