Para pemimpin keuangan dari negara-negara kaya yang tergabung dalam Kelompok Tujuh (G7) telah memperingatkan dari meningkatnya ketidakpastian ekonomi global. Pertemuan yang berlangsung selama tiga hari di Jepang dibayangi oleh kebuntuan negosiasi kenaikan plafon utang Pemerintah Amerika Serikat (AS) dan invasi Rusia ke Ukraina.
Para pemimpin dari G7 berbicara tentang pentingnya tetap waspada dan fleksibel dalam kebijakan ekonomi makro mereka di tengah meningkatnya ketidakpastian tentang prospek ekonomi global. Mereka mengakui bahwa perekonomian global telah menunjukkan ketahanan terhadap berbagai guncangan, termasuk pandemi COVID-19 dan perang agresi Rusia. Namun demikian, kekhawatiran atas gagal bayar AS memicu ketidakpastian atas prospek global, yang suram akibat inflasi yang sangat tinggi dan kegagalan bank AS.
Menteri Keuangan AS Janet Yellen mengatakan pada Jumat (12/5) bahwa dia akan bertemu dengan para bankir senior Wall Street pada pekan depan untuk membicarakan kemungkinan gagal membayar utang AS untuk pertama kali sejak 1789. Presiden Bank Dunia, David Malpass juga memberikan peringatan serupa bahwa dampaknya akan berdampak negatif pada semua orang dan sangat buruk jika tidak segera diselesaikan.
Masalah perbankan juga menjadi perhatian para pemimpin keuangan G7. Mereka mengatakan bahwa akan menangani kesenjangan data, pengawasan, dan peraturan dalam sistem perbankan. Para bank sentral G7 menyoroti bahwa inflasi masih akan tetap tinggi dan menegaskan komitmen mereka terhadap stabilitas harga serta menjaga agar ekspektasi inflasi berlabuh dengan baik.
China juga menjadi perhatian utama para pemimpin keuangan. G7 menetapkan tenggat waktu peluncuran skema baru untuk mendiversifikasi rantai pasokan global. G7 menawarkan bantuan kepada negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah untuk memainkan peran yang lebih besar dalam rantai pasokan untuk produk-produk terkait energi.
Tidak hanya itu, Jepang, yang menjadi tuan rumah pertemuan tahun ini, memimpin upaya untuk mendiversifikasi rantai pasokan dan mengurangi ketergantungan dari perekonomian kedua terbesar di dunia. Selain itu, mereka mempertahankan penilaian yang dibuat pada April bahwa sistem keuangan global ulet berkat reformasi peraturan yang dibuat setelah krisis keuangan global pada 2008.