Tak pernah terlintas dalam benak Khairol Salleh bahwa anaknya bisa menjadi pionir, keturunan Banjar Malaysia pertama yang lulus kuliah di Banua, sehingga ia pun teringat dengan peribahasa Melayu hujan emas di negeri lain, hujan batu di negeri sendiri, itu baik di negaranya sendiri.
Padahal, semua biaya anaknya ditanggung sendiri, tanpa mengikuti beasiswa seperti mahasiswa asing lainnya, dan ia sudah berkali-kali melanglang buana ke Kalimantan Selatan.
Khairol mengaku senang bisa berwisata di Banua, karena nenek moyangnya berasal dari Banjar.
Apalagi di Malaysia sana, dia berada di kota Bagan Serai, di Negara Bagian Perak, yang penduduknya mayoritas adalah orang Banjar.
“Bahagia ya makanya kita punya persaudaraan, berkah. Kalau kita sudah ada keterkaitan antara dua hal itu, agar nanti menjadi contoh ke depan masyarakat Banjar di Malaysia, kalau kita ingin menghubungkan perguruan tinggi di Banjarmasin. kita punya hubungan, tidak apa-apa, sama-sama, dan dia yang pertama menyelesaikannya sebagai pionir,” tegas Khairol Salleh yang senang dengan prestasi anaknya.
Ya, anaknya Hafizul Akhtar adalah keturunan Banjar Malaysia pertama yang lulus di Banjarmasin, dengan harapan bisa menjadi penghubung generasi muda lainnya di mancanegara, jika ingin melanjutkan studi di negara asal. nenek moyangnya.
“Ingin mendalami budaya Banjar, makanya belajar di Banjar,” kata Hafiz.
Akhirnya, kini ia telah resmi lulus dari UIN Antasari, pada Wisuda Sarjana ke-75 dan Wisuda Magister dan Doktor ke-45, di Kampus 2 Banjarbaru, Selasa (21/03/2023).
Selama hampir 7 tahun ia kuliah di UIN Antasari. Butuh waktu lama, karena 3 tahun kesulitan menyelesaikan penelitian skripsi di Malaysia akibat regulasi pandemi yang ketat.
Hafiz kini mampu menyelesaikannya, setelah mempelajari kaderisasi mubaligh di Madrasah Irsyadiah Pulau Pinang, menurut program studinya di Bimbingan Konseling Islam, Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi, UIN Antasari.
Baru Desember lalu ia bisa kembali ke Indonesia, menyelesaikan administrasi akhir, lulus ujian, dan bertemu langsung dengan teman-temannya lagi, setelah sekian lama hanya bertemu lewat dunia maya.
“Orangnya banyak, masuknya gampang, tapi bahasa Banjarnya friendly,” kata Ahmad Nafarin, teman sekelas angkatan 2016.
Ia pun mengaku setuju dengan keinginan ayah temannya, untuk melanjutkan hubungan harmonis dengan Banjar Malaysia, dengan semakin banyaknya mahasiswa yang belajar di Banjarmasin.(sya)