Tentang Asroh, orang sekampung sudah tahu semuanya. Lelaki tua bertubuh kecil dan berkulit sawo matang itu memang lain. Kabar berpulangnya ke pangkuan ilahi di Tanah Suci Makah membuat orang kampungku kaget, sekaligus bertanya-tanya. Kepergiannya untuk melaksanakan ibadah haji saja sudah membuat orang kaget setengah mati.
Asroh tak pernah sekalipun terlihat melaksanakan Shalat Jumat di Masjid. Hal terakhir inilah membuat sebagian orang kampungku menganggapnya sesat. Ditambah lagi dengan desas desus yang berkembang bahwa ia seorang dukun. Desas desus tersebut muncul tatkala sedang ramai-ramainya teror ninja. Sebab ia hampir diculik oleh gerombolan ninja tatkala sedang mengairi sawah. Pada akhirnya desas desus tersebut tidak pernah terbukti.
Tetapi aku sendiri tak ragu padanya, aku pun sering berkunjung ke rumahnya. Ia memang agak aneh, salah satu keanehannya adalah mandi hanya satu minggu sekali di hari Jumat. Sama seperti warga kampungku yang lain, aku tidak pernah sekalipun melihatnya melaksanakan Shalat Jumat.
Pernah suatu hari aku mempertanyakan hal tersebut kepadanya. Tentu saja ia marah, sebab dia tahu aku bukan sekadar bertanya, tetapi ada sedikit ejekan. Sejak saat itu aku tidak pernah lagi menanyakan hal tersebut.
“Kamu jangan menilai seseorang dari luarnya, jangan suudzan terhadap seseorang,” begitulah ujarnya, membuat aku merasa tertampar, sebab aku masih sering melihat seorang dari luarnya, dan sering suudzan. Kemudian ia melanjutkan perkataannya, “Aku ini Shalat Jumat, tetapi bersama dengan guruku.” Aku sendiri tidak mengerti apa maksudnya.
Demikianlah Asroh. Di balik keanehannya, ia memiliki kemampuan yang tidak banyak orang memilikinya. Ia piawai dalam meracik tumbuhan menjadi obat herbal. Ia paham betul khasiat apa saja yang terkandung dari sebuah tumbuhan. Asroh juga ahli dalam pengobatan tulang, dari mulai keseleo, hingga patah tulang.
Tidak pernah sekalipun ia mematok harga, bahkan banyak pasien yang hanya mengucapkan terima kasih saja, dan hal tersebut bukan masalah baginya. Sebenarnya bisa saja ia memasang tarif, namun ia enggan untuk melakukannya. Pernah aku menanyakan kepadanya, alasan mengapa dirinya tidak melakukan demikian.
“Dalam melakukan sesuatu itu harus ikhlas karena Allah, termasuk dalam menolong. Kemampuan yang aku miliki juga pemberian dari Allah, kapan pun Allah bisa mengambilnya kembali. Ketika pasien sehat, bisa bekerja kembali untuk menafkahi keluarga. Bekerja itu kan termasuk ibadah. Maka insyaallah aku akan kecipratan pahala. Mereka yang berobat kan belum tentu memegang uang, atau punya uang tetapi untuk makan, biaya sekolah,” ujar Asroh.
“Lalu bagaimana dengan mereka yang kaya raya, tetapi ketika berobat hanya mengucapkan terima kasih,” batinku dalam hati. Belum sempat aku menanyakannya, ia sudah menjawab, “Itu bukan masalah bagiku. Aku kadang berpikir begini, jangan-jangan bukan shalatku, bukan puasaku, bukan zakatku yang menjadikan aku masuk surga. Tetapi hal remeh temeh itu tadi, menolong orang.”
Tatkala ia akan berangkat haji, aku langsung diberitahu olehnya. Ia menceritakan kalau dirinya didaftarkan oleh anak-anaknya dari hasil iuran di antara mereka. Lazimnya di kampung tempat tinggalku, kalau ada orang pergi haji maka diantarkan ramai-ramai oleh banyak orang hingga ke Asrama Haji. Sebagai seorang kawan, aku juga turut serta mengantarkannya hingga ke Asrama Haji Pondok Gede.
Sepanjang perjalanan ia sangat bahagia. Sebelumnya aku tidak pernah melihatnya sebahagia ini. Awalnya aku hanya akan mengantarkannya hingga ke Asrama Haji Pondok Gede. Namun, ia memaksaku untuk mengantarkannya hingga ke Bandara Soekarno Hatta..
“Aku tidak akan kembali lagi ke Indonesia, aku akan dimakamkan di sana. Tanah tempat di mana semua orang ingin bersemayam di dalamnya. Sebuah impian ku sejak dulu. Aku minta maaf ya,” begitulah ujarnya, tatkala menyalami diriku. Aku tertegun dibuatnya. Ia begitu sangat siap dengan kematian.
Maka tatkala kabar wafatnya Asroh sampai ke kampungku, aku tidak sama seperti warga kampungku yang lain, aku tidak kaget. Ia memang layak mendapatkan tempat terbaik sebelum pengadilan yang seadil-adilnya itu tiba.
Dalam beberapa hari kampungku menjadi riuh atas kepergian Asroh, berbagai macam spekulasi muncul, ada yang mengatakan itu hanya kebetulan, ada yang mengatakan itu sudah kehendak Tuhan, macam-macam lah.
“Kok bisa ya, Asroh wafat di Makah. Aku dengar dia wafat ketika berangkat ke Mina, tidak mengalami ajal juga. Padahal kita tahu, kita tidak pernah melihat ia melaksanakan Shalat Jumat,” ujar Ardi ketika selesai pertemuan rutin setiap Malam Jumat di rumah Sofyan.
“Ya. Kadang dalam beberapa kejadian, orang yang kelihatannya ahli ibadah, tetapi sulit saat sakaratul maut. Aku juga pernah mendengar cerita tentang orang alim, tetapi imannya berubah ketika akhir hayatnya,” timpal Ujang.
“Wallahu a’lam,” timpal yang lain.
“Semasa mudanya ia senang berkelana. Ada yang bilang ia santri kalong, berkelana dari satu pondok pesantren ke pondok pesantren lainnya. Nasibnya memang kurang beruntung, dibandingkan dengan saudara-saudaranya, kakak adiknya kaya raya. Tetapi ia memiliki suatu hal yang tidak bisa dimiliki oleh saudara-saudaranya, yaitu dimakamkan di Mekah,” ucap Ali.
“Begitulah kehidupan ini, tidak ada yang tahu. Kita tidak boleh sombong dengan amal kita, sebab amal kita bukan jaminan. Sombong dengan amal saja tidak boleh, apalagi sombong dengan harta. Kemudian juga jangan meremehkan orang lain, sebab jangan-jangan orang tersebut mulia di sisi Allah dibandingkan dengan kita,” timpal Pak Kiai. Sementara yang lain, manggut-manggut setuju dengan apa yang dikatakan oleh Pak Kiai.
Dua puluh tiga tahun telah berlalu, sejak kepergian Asroh. Tetapi namanya terus diperbincangkan oleh para warga kampungku hingga kini.