Oleh: Tantri Liris Nareswari, Institut Teknologi Sumatera
Anemia atau kurang darah merupakan salah satu masalah utama yang dialami oleh hampir 40% balita di Indonesia. Masalah ini turut berkontribusi terhadap beban penyakit yang ada di seluruh dunia.
Menurut data dari Riset Kesehatan Dasar tahun 2018, prevalensi anemia pada perempuan di Indonesia mencapai 48,9% pada tahun tersebut. Sedangkan pada anak usia 6-59 bulan, prevalensi anemia mencapai 38,4% pada tahun 2019. Hal ini artinya setidaknya 1 dari 2-3 perempuan dan anak di Indonesia menderita anemia.
Anemia perlu ditangani dengan serius karena masalah ini juga menjadi salah satu dari enam Target Gizi Global dan target Agenda PBB 2030 untuk Pembangunan Berkelanjutan. Upaya pencegahan dan penanganan anemia perlu ditingkatkan agar masalah ini dapat diminimalkan.
Anemia adalah kondisi ketika tubuh tidak memiliki jumlah hemoglobin yang cukup untuk membawa oksigen ke organ dan jaringan. Gejala anemia meliputi kelelahan, sesak napas, detak jantung yang cepat, dan pusing saat berdiri. Selain itu, anemia juga dapat menghambat perkembangan kognitif dan motorik pada anak, serta berkontribusi pada pertumbuhan yang terhambat.
Selama kehamilan, ibu yang menderita anemia juga berisiko mengalami kelahiran prematur dan berat badan lahir rendah. Masalah ini juga menyebabkan tingkat kematian ibu dan anak yang tinggi di negara miskin dan berkembang.
Diagnosis anemia didasarkan pada konsentrasi hemoglobin dalam darah yang berada di bawah ambang batas yang ditentukan untuk usia, jenis kelamin, dan status fisiologis. Menurut WHO, anemia pada perempuan dewasa yang tidak hamil terjadi jika kadar hemoglobin (Hb) di bawah 12,0 g/dL, sedangkan pada perempuan hamil, kadar Hb harus di bawah 11,0 g/dL.
Untuk mendiagnosis kekurangan zat besi, perlu dilakukan pemeriksaan terhadap saturasi transferin (TfS) dan kadar feritin serum. TfS mencerminkan ketersediaan zat besi untuk pembentukan sel darah merah, sedangkan kadar feritin serum mencerminkan jumlah besi yang disimpan dalam tubuh. Jika TfS di bawah 20% dan kadar feritin di bawah 30 ng/mL, maka dapat dipastikan bahwa terjadi kekurangan zat besi.
Namun, perlu diingat bahwa kadar feritin dapat meningkat akibat peradangan dalam tubuh, sehingga pemeriksaan protein C-reaktif juga perlu dilakukan untuk memastikan apakah anemia disebabkan oleh infeksi atau bukan.
Anemia dapat disebabkan oleh kurangnya asupan zat besi, vitamin A, folat, vitamin B12, dan riboflavin. Kehilangan darah yang disebabkan oleh menstruasi dan melahirkan juga dapat menyebabkan anemia. Selain itu, infeksi kronis seperti tuberkulosis, malaria, cacingan, HIV, penyakit parasit, penyakit gastrointestinal, penyakit celiac, penyakit radang usus, penyakit ginjal kronis, kanker, dan gagal jantung kronis juga dapat menyebabkan anemia.
Untuk mengatasi anemia, pasien dengan kekurangan nutrisi dapat mengonsumsi suplemen zat besi secara teratur atau mengkonsumsi makanan yang kaya zat besi, folat, vitamin B12, dan vitamin A. Suplemen zat besi oral merupakan pilihan pengobatan pertama pada pasien dengan anemia kekurangan zat besi. Namun, dosis yang diberikan harus disesuaikan dengan kondisi pasien agar dapat meningkatkan toleransi.
Selain itu, pencegahan anemia juga melibatkan pencegahan dan pengobatan penyakit seperti malaria, cacingan, skistosomiasis, dan talasemia. Upaya pencegahan infeksi seperti mencuci tangan dengan sabun dan air, serta menjaga kebersihan sanitasi, juga sangat penting. Ibu hamil harus menjaga jarak antara kehamilan agar anak pertama dapat mendapatkan nutrisi yang cukup dari ibu. Perempuan dengan pendarahan menstruasi atau melahirkan yang berat juga sebaiknya berkonsultasi dengan dokter untuk mendapatkan perawatan yang tepat.
Penanggulangan anemia membutuhkan upaya yang kolaboratif antara sektor industri, masyarakat, dan pemerintah. Dengan melakukan upaya ini, diharapkan target nutrisi global dapat tercapai dan kesejahteraan masyarakat meningkat.
Referensi:
https://www.theconversation.com/hampir-40-balita-di-indonesia-mengalami-anemia-bagaimana-mengatasinya-205755