Sahdidin (51) adalah perintis sekolah dasar di pedalaman pegunungan Meratus. Ia telah menjadi guru selama 22 tahun sejak tahun 2001. Berkat jasa-jasanya, ratusan anak di Desa Muara Hungi terselamatkan dari buta aksara.
Oleh: JAMALUDDIN, Barabai
Pintu kelas 1 SD Muara Hungi, Desa Muara Hungi, Kecamatan Batang Alai Timur, Kabupaten Hulu Sungai Tengah siang itu terbuka lebar. Di dalam ruangan, terlihat Sahdidin dan empat orang muridnya sedang belajar membaca dan mengeja abjad.
SDN Muara Hungi merupakan sekolah terpencil di pedalaman pegunungan Meratus. Jaraknya 35 kilometer dari pusat kota Barabai. SD ini baru berdiri pada tahun 2003. Sebelum ada gedung sekolah, pada tahun 1990-an masyarakat di kampung ini menggunakan balai sosial sebagai tempat belajar.
Sahdidin mengatakan, saat itu sekolah tersebut hanya untuk anak muda. Mereka diminta mengikuti program sekolah paket oleh pemerintah setempat. Lulusan sekolah paket inilah yang diminta untuk mengajarkan pendidikan kepada anak-anak nantinya. Salah satu pemuda yang mengikuti sekolah paket itu adalah dirinya.
“Saya ambil bagian dari paket A, B, dan C,” ujarnya.
Setelah mengikuti sekolah paket, pada tahun 2001 Sahdidin dan dua rekannya, Rudi dan Fitri, mendapat somasi dari Dinas Pendidikan. Mereka diminta mengikuti pelatihan guru selama seminggu. Usai mengikuti pelatihan, Sahdidin kembali ke desanya. Mereka diberi mandat untuk mengajar di panti sosial tadi.
Baru pertama kali membuka sekolah non formal, antusiasme masyarakat terhadap pendidikan di desa tersebut sangat tinggi. Ada ratusan anak dan remaja yang mengikuti pelajaran yang diajarkan Sahdidin. Misinya saat itu cukup membuat mereka bisa membaca, menulis dan berhitung.
Akhirnya pada tahun 2003, dibangunlah Sekolah Dasar Berbakti di Desa Muara Hungi yang diberi nama Sekolah Kecil Muara Hungi. Pusat sekolah berada di desa tetangga yaitu Desa Pembakulan. Jaraknya kurang lebih 7 kilometer.
“Bangunan sekolah masih terbuat dari kayu. Hanya ada tiga ruang kelas,” kenangnya.
Di sekolah berbakti itu, Sahdidin dan dua rekannya menjadi guru honorer. Ternyata tak mudah menjadi guru di pedalaman Meratus. Letak geografis yang didominasi perbukitan membuat Sahdidin harus mengeluarkan tenaga ekstra.
Dia berjalan untuk mengajar. Kendaraan saat itu tidak bisa melewati jalan desa. Bahkan ada satu lokasi dimana Sahdidin dan murid-muridnya harus menggunakan rakit untuk menyeberangi sungai Batang Alai untuk menuju sekolah.
Sahdidin harus berjalan mondar-mandir bersama murid-muridnya yang tinggal di Dusun Maliringan yang berjarak 5 kilometer dari sekolah. Selama 3 tahun Sahdidin berjalan kaki untuk menyelamatkan anak-anak dari buta huruf.