Untuk menjadi bagian dari GIAHS FAO, sistem pertanian atau pangan suatu negara harus memenuhi lima kriteria. Lima kriteria tersebut adalah mendukung mata pencaharian dan ketahanan pangan; memiliki keanekaragaman hayati; berdasarkan budaya, kearifan lokal, atau tradisi; memiliki sistem nilai dan organisasi sosial; serta berada di area lanskap.
Ini juga mencakup praktik pertanian berkelanjutan dan perlindungan sumber air. Selain itu, dibarengi dengan pengembangan inovasi unik berbasis kearifan lokal dan strategi menghadapi dampak perubahan iklim.
Dengan kata lain, GIAHS merupakan upaya dunia untuk menyelamatkan warisan sistem pertanian dan pangan yang telah dipraktikkan petani sejak zaman dulu. Praktik-praktik tersebut terus berlanjut dan bahkan dikembangkan hingga saat ini untuk menunjukkan ketahanan ketahanan pangan dan keberlanjutan penghidupan.
GIAHS merupakan upaya dunia untuk menyelamatkan warisan sistem pertanian dan pangan yang telah dipraktikkan petani sejak zaman dahulu. Praktik-praktik tersebut terus berlanjut dan bahkan dikembangkan hingga saat ini untuk menunjukkan ketahanan ketahanan pangan dan keberlanjutan penghidupan.
Di Mesir dan Aljazair, ada warisan sistem pertanian dunia berdasarkan oasis gurun. Oasis Siwa di Mesir, misalnya, menggambarkan kecerdikan petani dalam mengadaptasi pertanian dengan kondisi iklim yang sangat keras yang bergantung pada sumber air yang langka.
Oasis menyediakan cara yang efektif untuk menanam tanaman pangan dalam sistem akuifer batu pasir, beternak, dan melestarikan flora dan fauna liar. Beberapa komoditas pangan yang dihasilkan adalah gandum, barley, kacang tanah, kurma, dan zaitun.
Bangladesh memiliki sistem pertanian terapung di sejumlah daerah rawan pasang surut dan banjir. Petani di wilayah tersebut, khususnya di Distrik Pirojpur, tidak lagi menanam sayuran dan buah-buahan di darat, melainkan di atas rakit apung yang terbuat dari eceng gondok. Ladang terapung telah melahirkan bahan makanan seperti ketimun, lobak, labu, pepaya dan tomat.
India memiliki sistem pertanian lahan basah Kuttanad yang dibuat dengan mengeringkan rawa-rawa dan memanfaatkan delta di perairan payau. Lanskap pertanian dibagi menjadi tiga struktur. Pertama, lahan basah digunakan untuk aktivitas padi dan nelayan. Kedua, lahan yang digunakan untuk perkebunan kelapa dan umbi-umbian. Ketiga, wilayah perairan yang digunakan untuk perikanan darat dan kerang.
Bangladesh memiliki sistem pertanian terapung di sejumlah daerah rawan pasang surut dan banjir. Ladang terapung telah melahirkan bahan makanan seperti ketimun, lobak, labu, pepaya dan tomat.
Baca juga: Padi Mengambang untuk Menyelidiki Lahan Pasang Surut
Ketiga contoh warisan pertanian ini merupakan bagian dari 74 kawasan pertanian di 24 negara yang telah terdaftar sebagai GIAHS FAO. Dari jumlah tersebut, 24 di antaranya di 12 negara baru ditetapkan FAO sebagai GIAHS pada 22 Mei 2023 di Roma, Italia.
China merupakan negara yang memiliki GIAHS paling banyak yaitu 19 pusaka. Kemudian disusul Jepang dengan 13 warisan, serta Spanyol dan Korea Selatan dengan masing-masing 5 warisan. Di Asia Tenggara, hanya Thailand dan Filipina yang masuk dalam daftar GIAHS FAO. Thailand memiliki warisan agroekosistem berupa penggembalaan kerbau, sedangkan Filipina memiliki sawah terasering.
Warisan pertanian Republik Indonesia
Lalu bagaimana dengan Indonesia? Padahal Indonesia sebenarnya memiliki banyak warisan pertanian dan pangan, namun Indonesia belum masuk dalam daftar GIAHS FAO. Bahkan, seperti halnya China, Jepang, dan Filipina, Indonesia memiliki sawah terasering di sejumlah daerah, antara lain di Tabanan dan Ubud, Bali.
Begitu juga dengan Thailand, Indonesia memiliki lahan penggembalaan kerbau rawa (Bubalus bubalis carabanesis) di sejumlah kawasan rawa gambut di Sumatera dan Kalimantan. Sejalan dengan Jepang dan China, Indonesia juga memiliki daerah penghasil teh dan pertanian beras mineral.
Baca juga: Populasi Kerbau Rawa Terus Menurun, Perlu Program Inseminasi Buatan
Indonesia juga memiliki sistem pertanian yang unik di Pulau Kolepon, Merauke, Papua. Masyarakat Marind di pulau tersebut membuat areal perkebunan dengan membuat gundukan lumpur hitam di perairan dangkal.
Mereka juga membangun parit-parit kecil untuk menampung air agar tanah tetap lembab. Di dataran rendah mereka menanam talas dan kava, sedangkan di dataran tinggi mereka menanam ubi jalar. Ubi jalar merupakan makanan pokok Suku Marind.
Baca juga: Marind Anim Terpaksa Tinggalkan Sistem Pangan Lokal
Pada tahun 2012, FAO juga mengunjungi Indonesia untuk menginisiasi GIAHS. Pada 2013, Indonesia mulai menjajaki lima wilayah yang berpotensi menjadi GIAHS. Kelima daerah tersebut adalah Karangasem di Bali, Kulonprogo di DI Yogyakarta, Samarinda di Kalimantan Timur, Lampung dan Makassar. Namun hingga satu dekade ini, hampir tidak ada berita tentang GIAHS Indonesia yang terdengar.
Namun, meski belum terdaftar di FAO GIAHS, badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) lainnya telah mengakui salah satu sistem irigasi pertanian di Indonesia sebagai warisan budaya dunia. Pada 29 Juni 2012, Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan (UNESCO) menetapkan subak, sistem irigasi pertanian di Bali, sebagai warisan budaya dunia.
Baca juga: Subak dan Petani Ajak Diselamatkan
Hal ini cukup melegakan meski potensi warisan sistem pertanian dan pangan di Indonesia dapat didorong ke dalam GIAHS FAO. Upaya ini juga penting di tengah rutinitas tahunan Indonesia menjaga stabilitas stok dan harga pangan, serta program pengadaan cadangan pangan pemerintah.
Di sisi lain, Indonesia dapat belajar dari warisan sistem pertanian negara lain yang memiliki karakteristik kurang lebih sama dengan pertanian dan pola bencana di Nusantara. Untuk mengatasi hilangnya lahan pertanian di daerah rawan rob dan banjir, misalnya, Indonesia bisa belajar dari Bangladesh.
Bahkan, Indonesia telah mencoba budidaya padi terapung di lahan pasang surut di Kabupaten Hulu Sungai Utara dan Hulu Sungai Selatan di Kalimantan Selatan, serta Palembang, Sumatera Selatan. Di Kalimantan Selatan, penanaman padi terapung varietas Banjar lokal dapat menghasilkan 9 ton per hektar.
Langkah ini perlu dilanjutkan bahkan diperluas ke daerah-daerah yang memiliki karakter geografis yang sama. Pada saat yang sama, kearifan lokal sistem pertanian dan pangan masyarakat di berbagai daerah di Indonesia tidak boleh ditinggalkan, karena berpotensi menjadi kekayaan peradaban pertanian dan pangan, seperti halnya GIAHS FAO.
Baca juga:
Budidaya Padi Terapung Mulai Dicoba di Kalimantan Selatan
Kerugian Mengintai Petani Menjelang Panen Raya