Tim Jurnalis Environmental Reporting Collective (ERC), organisasi global yang memfokuskan pada investigasi kejahatan lingkungan, telah merilis laporan terbaru mereka yang berjudul Beneath the Sands. Laporan ini mengeksplor dampak penambangan pasir pada lingkungan dan komunitas global, serta efeknya pada perempuan dan anak-anak. Masalah penambangan pasir kembali menjadi sorotan setelah Presiden Joko Widodo mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi Laut pada akhir Mei tahun ini. Peraturan tersebut secara resmi membuka kembali keran ekspor pasir laut dari Indonesia yang sebelumnya dilarang sejak era Presiden Megawati Soekarnoputri.
Laporan ERC yang digarap selama satu tahun terakhir mengungkapkan dampak negatif penambangan pasir di 12 negara; dari Indonesia, Singapura, Kamboja, Vietnam, Thailand, Filipina, China, Taiwan, India, Nepal, Sri Lanka, hingga Kenya. Pertama-tama, tim ERC menemukan bahwa penambangan pasir yang masif telah menyebabkan hilangnya pulau-pulau kecil di Indonesia, juga merusak daerah penangkapan ikan di Taiwan, Filipina, dan Cina. Di Indonesia, penambangan pasir laut oleh PT Logo Mas Utama di perairan utama Pulau Rupat dan Pulau Babi, Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau, memperparah kerusakan ekosistem pesisir dan abrasi di sana.
Selain itu, tim ERC menemukan bahwa penambangan pasir di seluruh dunia melibatkan jaringan mafia yang mengelola bisnis senilai miliaran dolar. Mafia tambang pasir ini terlibat dalam aktivitas yang mengancam keselamatan jurnalis, aktivis lingkungan, dan masyarakat sipil. Tim ERC mewawancarai sejumlah korban kejamannya di Nepal, Filipina, Sri Lanka, Vietnam, dan juga di India.
Terakhir, tim ERC menyatakan bahwa penambangan pasir berdampak buruk pada kelompok rentan seperti perempuan. Para aktivis dari Kenya, Indonesia, Kamboja, dan India mengungkapkan bahwa penambangan pasir merusak rumah mereka, lahan pertanian, dan mengancam ketahanan pangan.
Dari semua hasil investigasi, kini tersedia indikasi kuat bahwa penambangan pasir merugikan lingkungan dan komunitas. Sayangnya, tak ada aturan atau badan global yang memonitor eksploitasi pasir. Padahal, sumber daya inilah yang terbesar kedua setelah air.
Melalui laporan ini, tim ERC berharap bahwa kesimpulan mereka bisa dijadikan rujukan bagi pembuat kebijakan di tingkat regional, nasional, dan global untuk membuat peraturan yang melindungi lingkungan dan kelompok rentan dari penambangan pasir yang merusak.
Kolaborasi global ini terwujud berkat dukungan donor dan mitra, termasuk Center for Investigative Reporting Sri Lanka, Kontinentalist Singapura, Mekong Eye dari Kamboja, Vietnam, Thailand, The Initium China, Science Africa Kenya, Tempo Indonesia, The Reporter Taiwan, NBC News Amerika Serikat, The Philippine Center for Investigative Journalists Filipina, dan Ukaalo Nepal.