Jaksa Penuntut Umum (JPU) Dwi Kurnianto dari Kejaksaan Negeri Tapin berharap majelis hakim tidak menerima eksepsi tersebut.
Demikian disampaikan kuasa hukum ketiga terdakwa dalam kasus gratifikasi dan tindak pidana pencucian uang dalam rangka ganti rugi lahan bendungan di Kabupaten Tapin.
JPU berpendapat bahwa apa yang tertera dalam dakwaan sesuai dengan ketentuan KUHAP, dan menolak semua yang disampaikan oleh penasehat hukum terdakwa.
Demikian disampaikan Jaksa Penuntut Umum menanggapi eksepsi dalam sidang lanjutan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Banjarmasin, Senin (26/6/2023) di hadapan majelis hakim yang dipimpin Hakim Suwandi.
Di sisi lain, JPU berpendapat bahwa telah ada kesepakatan antara korban dan para terdakwa mengenai inti kasus tersebut.
“Untuk itu, kami selaku jaksa berharap majelis hakim tetap memutuskan agar perkara ini tetap disidangkan,” ujar JPU.
Seperti diketahui, dalam kasus yang sedang berjalan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, ketiga terdakwa terdiri dari Sugian Noor, mantan Kepala Desa Pitak Jaya, Kecamatan Piani Tapin.
Herman, warga sekitar, dan Ahmad Rizaldy, guru SD.
Ketiganya sepakat untuk mengurus surat-surat tanah milik warga pemilik tanah, agar memenuhi permintaan proyek agar ganti rugi bisa dibayarkan.
Sebagai salah satu penasehat hukum terdakwa, Sugian Noor, Hondanata, mengatakan kliennya dalam dakwaan sangat simpang siur karena ada dugaan gratifikasi dan pencucian uang.
Karena menurut mereka dalam kasus ini sudah ada kesepakatan antara terdakwa dan saksi untuk mengatur segala administrasi jual beli tanah untuk bendungan tersebut.
Sehingga dapat dikatakan bahwa kasus ini hanyalah masalah perdata.
“Kami menganggap ini hanya kasus perdata, karena sudah ada kesepakatan antara saksi dan terdakwa.
Mereka meminta untuk mengurus administrasi dengan kesepakatan uang hasil penjualan dibagi dua. Jadi di mana kejahatan korupsinya,” kata Honda yang merupakan salah satu kantor hukum Rahmi Fauzi dan rekannya.
Intinya, dalam menjawab eksepsi tersebut, Jaksa Penuntut Umum membantah apa yang disampaikan penasehat hukum, dan berharap majelis hakim tetap melanjutkan persidangan.
Majelis hakim memutuskan pada Senin 3 Juli 2023 akan menyampaikan putusan sela.
Ketiga terdakwa Sugiannor, Ahmad Ruzald, dan Herman disebut secara bersama-sama memotong 50 persen dari lima korban yang mendapat ganti rugi dari pembebasan lahan untuk pembangunan bendungan.
Dalam surat dakwaan disebutkan Sugianoor menerima Rp. 800 juta, Ahmad Rizaldy sekitar Rp. 600 juta, dan Herman yang merupakan warga sekitar justru menerima paling besar Rp. 945 juta lebih.
Pada umumnya, korban dari kelima penerima uang ganti rugi tersebut karena dokumen yang tidak lengkap dan pengurusan kelengkapannya dilakukan oleh ketiga terdakwa.
Sebenarnya Jaksa Penuntut Umum mengatakan bahwa kelima korban tidak mau memberikan uang yang diminta, namun karena surat tanah yang dimilikinya kurang, maka terpaksa diberikan.
JPU mendakwa ketiga terdakwa dengan pasal berlapis yakni pasal 12 huruf e UU RI Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 Kode kriminal.
Kedua pasal 11 UU RI Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat 1 1 KUHP.
Adapun pelanggaran terkait pencucian uang, JPU pertama menetapkan Pasal 3 UU RI No 8 Tahun 2012 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang dan kedua Pasal 4 UU RI No 8 Tahun 2012 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
Khusus untuk terdakwa Herman karena merupakan orang pribadi, maka dikenakan Pasal 3 pasal 1 dan 2 pasal 5 UU RI No 8 Tahun 2012 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
Seperti diketahui, bendungan yang menghabiskan anggaran Rp. 1 triliun, merupakan proyek tahun jamak antara 2015 dan 2020.
Dalam kasus ini sudah ada 20 orang yang dijadikan saksi dan diperiksa. Mulai dari pemilik tanah, kepala desa, hingga mantan kepala BPN Tapin.