Sejak kecil, anak-anak di Desa Sapala sudah diajarkan menggembala dan beternak kerbau rawa.
Oleh: WAHYU RAMADHAN, Ammuntai
SANTAI, penulis tidak ditabrak. Si (kerbau) hanya melotot. Toh masih ada jarak beberapa meter, cukup untuk mengelak.
Dan kerbau rawa pada dasarnya cukup mimak—artinya jinak. Bahkan bisa ditunggangi.
Namun sejinak apa pun, penulis tetap kesulitan membedakan wajah kerbau. Semuanya terlihat sama.
Dari putaran (kandang) pertama, rombongan Pokdarwis Pesona Rawa Sapala mengajak kami untuk mengunjungi putaran berikutnya.
“Kali ini lebih banyak kendala dan hambatannya,” kata Firdaus.
Perahu yang kami tumpangi kembali membelah rawa. Belok ke arah hutan.
Di belakang pepohonan, di atas danau ada lima tali yang berjejer. Hanya satu kalang yang memiliki gubuk penggembalaan. Pemilik kelima karang ini masih kerabat dekat.
Di bawah gubuk, penulis bertemu dengan Rabiani. Usianya baru 19 tahun, tapi sudah memiliki cincin.
Riabiani bersiap mengejar (menggiring) kerbaunya kembali ke kandang.
Pada tahap sebelumnya, penulis telah menyimak penjelasan Hamidan. Ia sudah memelihara kerbau rawa sejak kelas lima sekolah dasar. Mengajar orang tua dan kakak.
Sejak kecil ia sudah diajak menjelajahi daerah yang kaya akan hijauan. “Saat kelas I SMP, saya akhirnya bisa merawat dan beternak sendiri,” kata Hamidan.
Selama bertahun-tahun, dia belajar membedakan antara sapi bunting dan tidak bunting, hanya dengan melihat postur kerbau.
“Yang subur adalah tubuh yang melengkung. Kalau bulat atau biasa kita sebut walang pasti tidak akan punya anak,” jelasnya.
Melihat Rabiani, penulis yakin, pemuda ini juga belajar bercocok tanam sejak kecil. Sama seperti Hamid.
Pemandu dari Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalimantan Selatan itu kemudian mengajak rekan-rekan jurnalis untuk melihat lebih dekat. Caranya dengan mengendarai kano gembala. Kami menyambut tawaran itu dengan antusias.
Penulis memilih naik kano Rabiani. Mendekati rintangan, dia mengeluarkan suara dari mulutnya.
Seperti ular mendesis, tapi nyaring. Berulang kali mengacungkan tiang. Mengikuti perintah, kerbau rawa perlahan berenang menuju tebing.
Rabiani kemudian membagikan kisahnya. Bahwa dia baru berusia enam tahun menggembalakan rintangannya sendiri. “Dulu, saya hanya membantu orang tua saya. Melihat cara menggiring,” ujarnya.
Seiring waktu, orang tuanya memberinya dua modal. Sampai mereka melahirkan dan sekarang jumlahnya lebih dari 20 ekor.
Diakui Rabiani, menggembalakan kerbau rawa sebenarnya cukup mudah. Kandang dibuka, mereka bisa mencari makan sendiri. Hanya perlu pengawasan sesekali agar tidak lepas dari rombongan.
“Kerbau rawa, dua jam setelah lahir, bisa menyusu, berdiri, dan berenang. Tapi bukan berarti bisa langsung dirilis,” tegasnya.
“Kerbau yang baru lahir tetap harus dekat dengan induknya,” ujarnya.
Bungsu dari empat bersaudara ini pernah mengalami ditabrak kerbau. “Saya ditabrak saat ingin mengusir betis. Sang ibu mengira saya mengganggu anaknya,” katanya.
“Saya tidak terluka. Tapi ketika saya ingat itu, saya sendiri merasa lucu, ”lanjutnya.
Rabiani biasanya pergi ke Kalang sebelum jam 6 pagi. Saat cuaca mulai cerah, loop dibuka.
Sebelum kembali ke kampung, ia terlebih dahulu mengecek ke mana kerbau itu mencari makan.
Menjelang sore, Rabiani kembali ke Kalang. Seperti Rabu (15/3) sore itu, saat kami bertemu.
Apakah Rabiani tidak tertarik dengan pekerjaan lain? Dia menjawab bahwa dia cukup senang dengan kerbau rawa. “Apalagi kalau jumlahnya banyak,” katanya.
Ah, siapa pun akan senang. Karena harga sebuah hadangan antara Rp. 18 juta menjadi Rp. 20 juta.
Cara menjualnya, pembeli yang datang ke loop sendiri. Paling ramai di bulan Maulid (Rabiul Awal dalam kalender Hijriah). “Bisa laku sampai tiga ekor,” katanya.
Tak terasa, hari mulai gelap. Semua kerbau telah naik ke tebing. Saatnya rombongan kembali ke desa.
Sebelum pulang, penulis bertanya kepada Rabiani, apakah ada keinginan lain? “Saya ingin melanjutkan sekolah. Ingin belajar di Pesantren Darussalam (di Martapura). Mudah-mudahan tahun ini, doain saja,” pungkasnya.
Saat matahari terbenam, kami meninggalkan Rabiani. Dari radio HT pengendara ada kabar baik. Makan malam sudah siap. Menunya saluang kering dan lele masak kuning. Oh, betapa enaknya. (lanjutan)