Jakarta, CNBC Indonesia – Indonesia merupakan salah satu negara muslim terbesar di dunia, dan tentu saja banyak orang yang ingin melakukan rukum Islam untuk pergi haji. Sayangnya, ada berita kurang menyenangkan soal penyesuaian biaya haji.
Usulan penyesuaian Biaya Perjalanan Ibadah Haji (Bipih) 2023 sebesar Rp 69,2 juta dinilai terlalu membebankan. Hal ini memicu Komisi VIII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) membawa Kementerian Agama (Kemenag) untuk membahas upaya menekan Bipih.
Pembahasan ini telah dilakukan pada Selasa (14/2/2023), Komisi VIII mengundang Kemenag dan berbagai stakeholder haji, termasuk pihak maskapai hingga Kementerian Perhubungan.
Di saat rapat berlangsung, DPR menemukan berbagai komponen yang menimbulkan perdebatan.
Salah satunya, komponen biaya pendampingan penerbitan paspor yang dianggarkan Kementerian Agama (Kemenag) sebesar Rp 1,61 miliar. Biaya pendampingan ini dipertanyakan oleh DPR, apakah penting atau tidak untuk dimasukkan ke dalam komponen Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (Bipih) 2023, di sisi nilai manfaat.
Direktur Jenderal Haji dan Umrah Kementerian Agama (Kemenag) Hilman Latief mengakui bahwa biaya pendampingan paspor ini berlaku tergantung dinas urusan agama di daerah.
“Paspor jika ada masalah expired dan lain-lain itu memang harus ada pendampingan,” ungkap Hilman dalam RDP dengan Komisi VIII DPR, Selasa (14/2/2023).
Dia menyerahkan persetujuan pemangkasan biaya ini kepada DPR. Pernyataan ini memicu tanggapan keras dari DPR.
Anggota Komisi VIII DPR RI John Kenedy Azis mengatakan bahwa DPR tidak berada dalam posisi memberikan persetujuan sepihak. DPR dalam hal ini hanya mencari kejelasan mengenai posisi komponen biaya tersebut.
Anggota Komisi VIII Ace Hasan Syadizly menuturkan komponen ini harus jelas, terutama jika layanan ini berasal dari ASN atau kasi haji yang tugasnya mencakup pendampingan tersebut.
“Mereka sudah dapat anggaran dari APBN, tugas mereka bukan hanya 3 bulan saja,” kata Ace. Tugas ASN yang mengurusi haji dilakukan setahun penuh. Oleh karena itu, dia meminta klarifikasi yang faktual dan terukur.
Komponen biaya ini sebenarnya memiliki potensi pembiayaan ganda antara APBN dan Bipih. Berikut ini data komponen biaya penyelenggaraan haji yang berpotensi tumpang tindih dengan APBN:
1. Biaya Pelayanan Umum di Arab Saudi
– Belanja modal: Rp 2,35 miliar
– Pemeliharaan kendaraan, peralatan kantor, wisma gedung dan lain-lain: Rp 6,83 miliar
– Pengelolaan Kantor Urusan Haji (KUH) di Arab Saudi: Rp 895,79 miliar
2. Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji di Dalam Negeri
– Perlengkapan protokol kesehatan jemaah haji: Rp 6,73 miliar
– Biaya pendampingan penerbit paspor jemaah: Rp 1,61 miliar
– Lembur pengurusan paspor jemaah: Rp 3,71 miliar
Lebih lanjut, Hilman juga memaparkan usulan efisiensi Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) 2023 yang bersumber dari nilai manfaat di depan Komisi VIII DPR RI.
Salah satu biaya yang bersumber dari nilai manfaat yakni biaya penyelesaian dokumen jemaah – termasuk visa dan paspor – biaya ini diusulkan sebesar Rp 11,2 miliar.
Dalam paparannya, Hilman mengatakan dana tersebut digunakan untuk membayar 5.718 tenaga honorer selama 3 bulan proses pengurusan dokumen yang masing-masing mereka digaji sebesar Rp 1.972.000.
“Kita mempekerjakan 5.718 orang seluruh satuan kerja (satker) dari 512 satker itu sekitar 10 orang satu kantor. Dan mereka dapat honor 1.972.000 satu musim selama 3 bulan. Memang ada peak season yang mereka bekerja berjam-jam itu, ” katanya.
Dia menambahkan penyelesaian dokumen haji tersebut meliputi sinkronisasi data jemaah, vierifikasi data, dan mengkonfirmasi data kepada masing-masing jemaah haji.
Terkait usulan ini, ketua Panja Ibadah Haji Marwan Dasopang menyepakatinya karena untuk masa kerja selama 3 bulan dengan gaji Rp 1,9 juta dinilai layak untuk dianggarkan.
“Masa kerja 3 bulan, layaklah itu ya,” ujar Marwan.
Melihat hal ini, Komisi VIII meminta agar Kemenag tetap berusaha melakukan efisiensi biaya tersebut. Pasalnya, biaya ini dianggarkan apabila memang ditemukan permasalahan tersebut di lapangan dan dibutuhkan jumlah tenaga honorer sebanyak itu, namun jika di lapangan tidak demikian artinya dana tersebut bisa saja tidak terpakai.
(tib)