BANJARMASIN – Kasus korupsi pengadaan lahan Bendungan Tapin berujung pada dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU).
Itu sebabnya hingga saat ini Kejaksaan Tinggi Kalsel belum menangkap ketiga tersangka tersebut.
“Kami masih mencari bukti lain, karena ada dugaan mengarah ke ML,” kata Wakil Kepala Kejaksaan Tinggi Kalsel Ahmad Yani usai memperingati Hari Antikorupsi 2022 kemarin (9/12).
Bendungan ini terletak di Desa Pipitak Jaya, Kabupaten Tapin. Presiden Jokowi dilantik pada Februari 2021.
Alasan lainnya adalah adanya batas waktu penyidikan yang membuat Kejaksaan Agung tidak mau gegabah. “Sehingga nanti setelah ditahan, timbul kesulitan yang menjadikannya kontraproduktif,” imbuhnya.
Menurutnya, surat dakwaan TPPU itu penting. “Sebagai upaya pengembalian uang negara,” tambahnya.
Meski Yani tak mau menyebut berapa sebenarnya kerugian negara dalam kasus ini. “Yang pasti ada dugaan besaran iuran (ganti rugi) yang dibayarkan kepada pemilik tanah tidak sesuai dengan yang dikeluarkan,” jelasnya.
Kejaksaan Agung menetapkan tiga tersangka sejak 31 Agustus lalu. Mereka berinisial S, AR, dan H.
Namun, ketiganya tidak pernah ditangkap. Bahkan ketiganya diperiksa lagi pada Kamis, 10 November lalu.
S dikenal sebagai kepala desa. Sedangkan AR adalah seorang guru PNS dan H adalah seorang pengusaha.
Kasus penyelewengan anggaran pengadaan tanah diketahui Tim Pemberantasan Mafia Tanah. Mereka menemukan hal mencurigakan dalam pembebasan lahan untuk proyek strategis nasional (PSN).
Pada Mei lalu, status penyidikan ditingkatkan menjadi penyidikan melalui surat perintah Kepala Kejaksaan Tinggi Kalsel Nomor 02/0.3/Fd.2/05/2022.
Bendungan Tapin menelan biaya hampir Rp 1 triliun. Proyek tahun jamak ini dikerjakan sejak 2015 hingga 2020.
Dalam kasus ini, tak kurang dari 20 saksi diperiksa. Mulai dari pemilik tanah, kepala desa, hingga mantan Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Tapin.
Ketiga tersangka dijerat pasal berlapis. Pasal 12 huruf e Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 1 KUHP. Kemudian Pasal 11 UU Tipikor.
Di sisi lain, sepanjang 2022, ada 37 kasus korupsi yang diusut Kejaksaan Agung. “Kami ingin kasus-kasus yang masih berjalan dapat diselesaikan secepatnya sehingga cepat mendapatkan kepastian hukum,” pungkas Yani. (mof/gr/fud)