BANJARMASIN – Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Banjarmasin akan memutus kasus mantan Kepala Daerah Hulu Sungai Tengah, Abdul Latif. Apakah akan dilanjutkan pembuktian atau dihentikan. Jawabannya ada pada Rabu (1/2) lusa.
Latif dalam pengecualiannya menegaskan, aset yang disita Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 2018 sudah menjadi miliknya sebelum menjabat sebagai bupati.
Untuk itu, dia meminta hakim membatalkan dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK.
Dalam dakwaan jaksa, Latief diduga melanggar dua pasal. Yang pertama adalah Pasal 12B Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Kedua, diduga melanggar Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
JPU KPK juga meminta hakim menolak eksepsi terdakwa dan meminta sidang dilanjutkan.
Jaksa KPK Taufiq Ibnu Nugroho menilai dalil eksepsi yang diajukan terdakwa pada persidangan sebelumnya tidak termasuk adanya eksepsi yang diatur dalam ketentuan Pasal 156 ayat (1) KUHP. . Ia menyebut hal itu sebagai kekeliruan penasehat hukum yang tidak memahami rekonstruksi kasus hukum.
Selain itu, kata dia, eksepsi yang diajukan penasehat hukum dan tergugat tidak material dari eksepsi yang seharusnya.
“Tapi sudah masuk ke ranah pembuktian materi perkara. Seharusnya hanya disampaikan saat pembelaan,” kata Taupiq.
Maka untuk membuktikan bersalah atau tidak bersalahnya terdakwa tentunya harus melalui pembuktian di pengadilan. “Memutuskan tentu tidak bisa dinilai dengan eksepsi, perlu dibuktikan di pengadilan. Terlalu terburu-buru,” imbuhnya.
Untuk itu, dia meminta hakim mengesampingkan eksepsi terdakwa. “Untuk kasus ini, kami minta dilanjutkan ke proses persidangan,” pungkasnya.
Majelis hakim dalam perkara ini dipimpin oleh Jamser Simanjuntak. Disampaikannya, sidang akan dilanjutkan pada Rabu (1/2) dengan agenda putusan sela.
Seperti diketahui, selain menanyakan soal penyitaan koleksi mobil mewahnya, Latif juga menanyakan soal penetapan tersangka kasus dugaan gratifikasi dan TPPU yang dibawanya.
Pria berusia 55 tahun itu mengingatkan, dalam kasus baru ini belum pernah ada yang diperiksa.
“Penyidik hanya berasumsi dari berkas perkara lain. Hak saya untuk mengklarifikasi terkait alat bukti kebenarannya juga tidak ditanggapi,” kata Bupati HST periode 2016-2019 itu.
Latief bahkan menduga penyidik KPK sudah melenceng dan sesat.
“Yang lebih memusingkan, dari sekian banyak penerima uang yang tercantum dalam pengeluaran Kadin, belum ada yang dijadikan tersangka,” ujar Latif saat membacakan keterangannya, Rabu (18/1) lalu.
Mundur, pada 4 Januari 2018 di Barabai, KPK menangkap Latif dari kantornya.
Pada 15 Maret 2018, KPK menyita 23 mobil mewah dan delapan sepeda motor milik Latif. Melalui laut, semuanya dikirim ke Jakarta.
Hingga 20 September 2018, Latief divonis enam tahun penjara dan denda Rp 300 juta subsider tiga bulan oleh Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta.
Mengajukan kasasi, pada 3 Januari 2019, Majelis Hakim Pengadilan Tinggi (PT) Jakarta justru memperberat hukuman Latif. Ancaman hukumannya tujuh tahun penjara dan denda Rp 300 juta subsider tiga bulan kurungan. (mof/gr/fud)