Keberhasilan program lumbung pangan nasional, yang telah digagas sejak zaman Presiden Soeharto hingga saat ini di era Presiden Joko Widodo, belum menunjukkan hasil yang memuaskan. Meskipun program ini termasuk dalam Program Strategis Nasional 2020-2024, banyak pihak yang menganggap proyek tersebut tidak berhasil. Menurut ahli, program lumbung pangan ini merupakan proyek jangka panjang yang tidak dapat mencapai kesuksesan dalam waktu singkat.
Seorang pengamat pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Khudori, mengingatkan bahwa seluruh lahan yang digunakan untuk program ini berada di luar Pulau Jawa. Akibatnya, kesuburan lahan-lahan tersebut tidak lebih baik dari lahan pertanian di Jawa. Oleh karena itu, tidak mungkin menghasilkan produktivitas yang baik dalam waktu 1-2 tahun.
“Yang perlu diperhatikan, sebagian besar food estate yang dibangun di luar (Jawa) itu adalah lahan bukaan baru. Lahan bukaan baru memerlukan waktu dan proses untuk menjadi lahan yang bisa berproduksi secara stabil. Misalnya, membangun ekosistem sawah yang stabil membutuhkan waktu 3-4 tahun, apalagi jika lahan tersebut awalnya adalah hutan yang dikonversi menjadi lahan pertanian, tentu membutuhkan waktu lebih lama,” jelasnya.
Pemerintah telah menggagas sejumlah program lumbung pangan di beberapa daerah, seperti Kalimantan Tengah, Sumatra Utara, dan Sumatra Selatan. Namun, beberapa proyek tersebut mengalami gagal panen atau terhenti, meskipun baru diresmikan pada era pemerintahan Jokowi.
Khudori juga mengkritik target pemerintah yang terlalu terburu-buru dalam program lumbung pangan ini. Menurutnya, pemerintah ingin mencapai hasil yang cepat, seperti sihir, di mana tanam hari ini, bisa panen hari ini, dan hasilnya bisa dinikmati. Menurut Khudori, hal ini tidak masuk akal.
Meskipun demikian, ia setuju dengan pemerintah bahwa membangun fondasi yang kuat untuk ketahanan pangan nasional melalui program lumbung pangan perlu dilakukan. Terutama karena terus terjadi konversi lahan pertanian di Jawa, sehingga lahan pertanian semakin berkurang.
Selain itu, Indonesia memiliki lahan pertanian per kapita yang sangat rendah, yaitu hanya 0,019 hektar. Jumlah ini jauh lebih kecil dibandingkan dengan negara-negara seperti Thailand dan Vietnam yang mencapai 7-8 kali lebih besar dari Indonesia.
Khudori melihat bahwa satu penyebab kegagalan program food estate ini adalah faktor politis. Ia menilai bahwa periode kepemimpinan yang berlangsung lima tahun sekali di Indonesia mengakibatkan kurangnya konsistensi dan keberlanjutan ketika terjadi pergantian kepemimpinan.
“Menurut saya, penting untuk membangun fondasi agar di masa depan Indonesia memiliki basis pangan yang kuat. Karena ini adalah proyek jangka panjang, ini tidak akan memberikan efek politik yang langsung terlihat. Ketika dia membangun basis tersebut, mungkin periode kepemimpinan berikutnya yang akan menikmatinya. Jadi, penting untuk memastikan bahwa di masa depan, Indonesia memiliki kapasitas produksi pangan yang cukup. Jika negara-negara yang biasanya kita impori menghentikan ekspor, kita memiliki kapasitas produksi yang cukup di dalam negeri,” jelasnya.
Presiden Joko Widodo baru-baru ini mengunjungi food estate di Kabupaten Keerom, Papua. Di lahan ini, pemerintah menanam jagung yang dalam waktu tiga bulan sudah menghasilkan dengan baik, meskipun ada beberapa perbaikan yang perlu dilakukan dalam sistem perairan.
“Memang ini baru pertama kali. Jangan berharap hasilnya akan sangat tinggi secara langsung. Hasil yang sudah ada saat ini sudah sangat baik, sekitar 7 ton per hektare. Karena standar yang diharapkan adalah 5,6 ton per hektare, ini sudah 7 ton. Saya melihat bahwa tanahnya sangat subur, tetapi perlu pengelolaan air yang baik,” kata Jokowi.
Ia juga menjelaskan bahwa lahan food estate seluas 45 hektare untuk tanaman jagung ini akan dipanen lagi pada bulan September mendatang. Jika produktivitasnya tetap baik, pemerintah akan menyediakan ribuan hektare lahan untuk tahap berikutnya.
Jagung yang telah dipanen saat ini juga memiliki harga di atas harga pokok penjualan (HPP) jagung, yaitu sekitar Rp5.000-6.000 per kilogram. Dengan hasil tujuh ton per hektare, petani dapat mendapatkan Rp42 juta per hektare hanya dalam tiga bulan. Oleh karena itu, Jokowi berharap food estate di Papua ini dapat memenuhi kebutuhan jagung nasional, terutama di Indonesia Timur.
Terkait keberlanjutan program food estate di Papua, Jokowi mengatakan bahwa tidak perlu ada payung hukum. Jika hasilnya baik, program tersebut dapat sepenuhnya diserahkan kepada pemerintah daerah setempat untuk dilanjutkan.
“Tidak perlu menggunakan payung hukum, jika percobaan ini berhasil, seharusnya hal tersebut dapat sepenuhnya diserahkan kepada Bupati untuk mengoordinasikan masyarakat di sini, tetapi dalam jumlah yang lebih besar agar dapat meningkatkan produktivitas per hektare,” tambahnya.
Bupati Keerom, Piter Gusbager, mengungkapkan bahwa kondisi lumbung pangan di wilayahnya saat ini berkembang dengan baik berkat dukungan alat dan mesin pertanian (Alsintan) dan ketersediaan benih unggul.
“Jagung yang kita panen bulan ini adalah benih unggul yang juga ditanam bersama Bapak Menteri (Syahrul Yasin Limpo) bulan Maret lalu. Kita bersyukur karena hasilnya mencapai 7,5 ton per hektare,” ujarnya.
Menurutnya, perkembangan sektor pertanian yang baik ini penting untuk dipertahankan karena dapat memperkuat perekonomian masyarakat sekitar. Selain itu, sektor pertanian juga berperan dalam menyediakan gizi yang sehat untuk perkembangan sumber daya manusia yang unggul di Keerom.
“Saya ingin mengatakan bahwa jika kita ingin menyelesaikan masalah di Keerom, kita perlu fokus pada sektor pertanian. Jika kita ingin mengatasi kemiskinan di wilayah ini, maka selesaikan masalah di sektor pertanian. Jika kita ingin meningkatkan kesejahteraan masyarakat, maka perhatikan sektor pertanian. Mengapa? Karena pertanian adalah simbol utama pemberdayaan masyarakat. Oleh karena itu, saya sangat mengapresiasi Kementerian dan Presiden atas perhatian yang besar terhadap pertanian di Papua,” katanya.
Piter menambahkan bahwa hampir semua produk pertanian di wilayah Papua dipasok oleh Kabupaten Keerom. Oleh karena itu, ia melihat peluang pemberdayaan ekonomi di sektor pangan sangat strategis dan menjanjikan.
“Petani di Keerom tidak boleh dire