Oleh : A Amin Husein ST Mediator Hubungan Industrial Kabupaten Tabalong
BANJARMASINPOST.CO.ID – MOMEN tahun baru bagi pekerja dan pengusaha tentunya berarti pemberlakuan Upah Minimum Provinsi dan Upah Minimum Kabupaten/Kota. Pada tahun 2023, proses penetapan UMP dan UMK dimulai antara Oktober dan November, setahun sebelumnya, yakni tahun 2022 melalui rapat Dewan Pengupahan di tingkat provinsi dan kabupaten/kota.
UMP dan UMK 2023
Ada yang tidak biasa dalam penetapan upah minimum tahun ini, yakni terbitnya produk hukum turunan baru, Permenaker Nomor 18 Tahun 2022 pada 18 November 2022 tentang Penetapan Upah Minimum Tahun 2023. Tidak menggunakan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan.
Berdasarkan perhitungan dari peraturan baru tersebut, Gubernur Kalsel telah menetapkan UMP 2023 sebesar Rp3.149.977,65 yang berlaku di sembilan kabupaten/kota. Selain itu, UMK Kabupaten Tabalong Tahun 2023 sebesar Rp. 3.238.555,31, Banjarmasin sebesar Rp. 3.236.245,17, Kotabaru sebesar Rp. 3.293.371,38 dan Tanah Bumbu sebesar Rp. 3.151.028,26.
Perubahan peraturan pengupahan sebenarnya sudah beberapa kali terjadi, mulai dari Permenakertrans Nomor 13 Tahun 2012 tentang Komponen Kebutuhan Hidup Layak (KHL), PP Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan, PP 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan hingga Permenaker Nomor 18 Tahun 2022.
Permenaker Nomor 18 Tahun 2022 yang dikeluarkan secara mendadak pada November 2022 setelah keluarnya data indikator ketenagakerjaan dari Badan Pusat Statistik menanggapi DPP APINDO sebagai organisasi pengusaha di bidang ketenagakerjaan melalui surat tanggapan tertanggal 20 November 2022 nomor 445/ DPN/3.2.1/2C/XI /22. Asosiasi pengusaha menolak penghitungan UM di luar ketentuan PP 36 Tahun 2021.
Ada beberapa alasan. Pertama, PP 36/2021 merupakan produk hukum yang telah disepakati bersama antara Pemerintah dengan DPR, APINDO, KADIN dan perwakilan serikat pekerja yang tergabung dalam tim tripartit sebagai peraturan turunan dari UU Cipta Kerja. Kedua, PP 36/2021 hingga saat ini menjadi dasar hukum pengaturan pengupahan.
Ketiga, berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XIX/2021 tanggal 3 November 2021 menyatakan bahwa UU Cipta Kerja masih dapat berlaku untuk jangka waktu dua tahun sampai dengan dilakukan perbaikan-perbaikan yang selama itu tidak diperbolehkan. mengeluarkan kebijakan yang bersifat strategis dan berimplikasi luas. Keempat, PP 36/2021 telah memenuhi filosofi upah minimum sebagai jaring pengaman sosial dan mengakomodasi indikator kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan.
Alasan kelima, Permenaker 18/2022 tidak dibahas dalam forum Dewan Pengupahan dan Lembaga Kerja Sama Tripartit Nasional dan bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Keenam, Permenaker 18/2022 mengubah formula pengupahan secara drastis dari PP 36/2021, menggeser waktu penetapan UMP dan UMK serta membuat pengaturan tambahan yang bertentangan dengan filosofi upah minimum. Alasan terakhir adalah potensi berkurangnya kepastian hukum yang akan meningkatkan kecemasan investor dalam mengembangkan usahanya di Indonesia. Atas alasan penolakan Permenaker 18/2022, DPP APINDO telah melakukan uji materil ke Mahkamah Agung dan akan melakukan proses Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) bagi Gubernur yang tidak menetapkan UMP dan UMK Tahun 2023 sesuai PP 36/ 2021.
Terlepas dari pro kontra penetapan UMP dan UMK 2023, saat ini berdasarkan amanat UU Cipta Kerja sendiri komponen produktivitas belum masuk dalam perhitungan upah. Pengusaha beranggapan bahwa perhitungan upah minimum hanya mempertimbangkan fungsi upah sebagai jaring pengaman sosial tanpa mempertimbangkan seberapa besar kontribusi pekerja terhadap perusahaan. Di sisi lain, pekerja beranggapan bahwa upah yang diberikan tidak sebanding dengan kontribusinya dalam bekerja jika hanya dihitung berdasarkan indeks kebutuhan hidup minimum. Di sisi ini, kita menunggu peran Dewan Pengupahan untuk merumuskan pengupahan dengan memasukkan komponen produktivitas.
Perppu Nomor 2 Tahun 2022
Kejutan kedua yang muncul tahun ini adalah terbitnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja. Perppu ini merupakan bentuk tanggapan Pemerintah atas Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XIX/2021 tanggal 3 November 2021 sebagai koreksi atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Tidak banyak pasal yang berubah dari ketentuan UU 11/2020, yaitu ketentuan pasal 64 tentang outsourcing, pasal 67 tentang penyandang disabilitas, pasal 84 tentang hak istirahat pekerja, pasal 88C tentang kewenangan gubernur untuk menetapkan upah minimum, pasal 88D berkaitan dengan rumusan upah minimum dan pasal 88F sebagai pasal tambahan Perppu ini yang memuat kewenangan Pemerintah untuk menetapkan rumusan upah minimum yang berbeda dengan ketentuan pasal 88D, khususnya ayat (2).
Ketentuan pasal 88F merupakan pasal yang paling banyak dikritik dalam Perppu ini. Jika Pasal 88F diberlakukan, ada kekhawatiran bahwa peraturan turunan untuk menetapkan upah minimum dapat berubah setiap tahun. Hal ini dapat menimbulkan ketidakpastian pengaturan pengupahan yang merugikan tidak hanya bagi pekerja dan pengusaha, tetapi juga bagi investor. Pasal 88D khususnya ayat (2) juga cukup mengkhawatirkan karena komponen ‘indeks tertentu’ dalam penentuan upah tidak jelas. Untuk itu perlu adanya penjelasan yang komprehensif mengenai variabel-variabel tersebut.
Semoga pro dan kontra terkait dua guncangan ketenagakerjaan di awal tahun 2023 ini tidak mengurangi keharmonisan dan kondusifitas hubungan industrial yang harus kita jaga dan dapat dibenahi sesuai koridor ketenagakerjaan.