Tiga bulan bukanlah waktu yang singkat untuk berada dalam kepungan banjir. Air tidak hanya masuk ke rumah mereka tetapi juga melumpuhkan pertanian mereka yang membuat mereka tidak bisa bercocok tanam. Lima orang terlihat berkumpul di kantor Desa Jejangkit Pasar sore itu. Salah satunya adalah Kepala Desa Jejangkit bernama Taufik. Mereka terdengar berdiskusi, saya tidak tahu apa yang mereka bicarakan. Mengetahui ada wartawan yang datang, mereka tidak langsung menceritakan penderitaan mereka saat banjir.
“Sudah tiga bulan ini kami rasakan, bingung harus berbuat apa. Tidak bisa bertani, bagaimana bisa kerja lain,” kata seorang warga bernama Herfani.
Awalnya mereka mengira banjir itu karena faktor alam, seperti curah hujan tinggi dan kiriman air dari kabupaten tetangga. Ternyata itu bukan satu-satunya faktor.
“Salah satu sumbernya ternyata kiriman air dari perusahaan sawit yang membuang air dari lahan mereka ke sungai Jejangkit, menggunakan pompa besar. Per detiknya menghasilkan 200 liter,” lanjut sang pendiri, Taufik.
Bayangkan dengan jumlah mesin yang tidak kurang dari satu mesin dalam sehari bisa mengeluarkan jutaan liter ke sungai jejangkit. “Banyak handil atau handil sekunder yang ditutup permanen oleh perusahaan, jika dibuka aliran air akan menyebar ke kabupaten tetangga, jatuh ke sungai Barito. Ada enam Handil yang sudah ditutup,” terangnya.
Taufik mengatakan, ini menyangkut piring nasi. Bertani selalu menjadi pekerjaan warganya. Kemudian sampai sekarang baru 1.000 hektare, itupun saat mau bekerja banjir datang lagi,” ujarnya.
Mereka hanya meminta solusi untuk masalah ini. Selama ini mereka tidak pernah mengurus perusahaan sawit di dekat desa, bahkan tidak pernah peduli dengan dana CSR.
“Boro-boro diajak kerja di sana, setahu kami tidak ada dana CSR juga. Hanya lima persen warga di sini yang bekerja di sana. Tapi terlepas dari itu, kami ingin perusahaan sawit tidak mengganggu desa kami, seperti dumping. air di perkebunan sawit melalui Sungai Jejangkit,” pintanya.
Banjir datang awal Februari, sejak saat itu rutinitas lumpuh, tanah terendam jalan dan rumah mereka juga terendam. “Ini sudah kami rasakan selama tiga tahun sejak banjir 2021. Setiap tahun kami menikmati kondisi seperti ini,” ujarnya.
Selama tiga tahun ini mereka juga berusaha bercocok tanam, namun selalu gagal. Banjir akan datang. “Tinggal tracking, banjir datang, air langsung menggenangi sawah kami. Jangan terus-terusan membuat bibit, tidak semua lahan bisa terendam,” kata Herfani, mantan kepala desa setempat.
Untuk mendapatkan penghasilan, mereka juga mencari pekerjaan di kecamatan tetangga. Pekerjaannya sama seperti sehari-hari di desa.
“Kami menerima jasa tanam pagi, satu potong Rp 75.000. Ya susah sekarang uangnya bisa buat satu liter beras, itupun harus berkeringat,” ujarnya lirih.
Menurutnya, jika dalam satu atau dua tahun masalah banjir di jejangkit tidak bisa diselesaikan, maka desa di sini akan mati. “Di mana lagi kita berharap kalau bukan dengan pemerintah,” pungkasnya. (lan/ij/ran)