Oleh: Dr.Hunggul Yudono Setio Hadi Nugroho (Ketua Kelompok Kajian Pengelolaan DAS dan Bencana Terpadu, Pusat Penelitian Ekologi dan Etnobiologi, BRIN; Penulis Buku Pengelolaan DAS dan Konservasi Tanah dan Air: Menjaga Keseimbangan Ekosistem Air dan Tanah, Penerbit Andi, 2022; Email: [email protected] .id; [email protected])
Di berbagai wilayah Indonesia, seperti di Sulawesi, Jawa, Kalimantan, Papua, dan Maluku, banjir dan tanah longsor telah menjadi bencana kronis yang hampir selalu menimbulkan korban jiwa dan kerusakan infrastruktur. Terakhir, sejak Februari hingga Maret, banjir terjadi di beberapa kabupaten di Kalimantan Selatan dan Sumatera Selatan. Lebih dari 1.300 rumah di Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan terkena dampak banjir. Sementara itu, banjir bandang di Lahat, Sumatera Selatan mengakibatkan puluhan rumah hanyut dan rusak, serta ratusan orang mengungsi. Selain curah hujan yang tinggi, perubahan bentang alam daerah resapan air, penggundulan hutan, dan pemanfaatan lahan di Daerah Aliran Sungai (DAS) bagian hulu untuk lahan budidaya yang tidak memperhatikan prinsip konservasi tanah dan air (KTA), secara langsung maupun tidak langsung. meningkatkan potensi banjir. Jika terjadi banjir di daerah hilir, di daerah perkotaan, potensi banjir dari daerah hulu diperparah dengan penyempitan badan sungai, alih fungsi rawa menjadi pemukiman, penggunaan material kedap air dalam pembangunan sarana dan prasarana perkotaan. dibarengi dengan tidak adanya perencanaan saluran drainase yang baik, menyebabkan banjir merupakan hal yang biasa terjadi setiap musim hujan. Pertanyaannya, mengapa banjir terus terjadi dengan besaran dan frekuensi yang semakin meningkat dari tahun ke tahun?
Dalam hal penanggulangan banjir di Indonesia sudah dimulai sejak zaman Raja Purnawarman pada abad ke-5, kemudian dilanjutkan pada zaman VOC dengan pembangunan kanal dan kanal pada abad ke-17, pengelolaan Bengawan Solo pada abad ke-18. , penetapan 22 DAS prioritas pada tahun 1984, hingga munculnya PP 37 Tahun 2012 tentang Pengelolaan DAS dan Undang-Undang nomor 37 Tahun 2014 tentang Konservasi Tanah dan Air. Kata kuncinya adalah ada landasan pemahaman yang benar, dan niat baik dari hulu.
PP 37 Tahun 2012 dan UU 37 Tahun 2014, mendefinisikan DAS sebagai suatu wilayah daratan dengan sungai dan anak sungainya, yang menampung, menyimpan, dan mengalirkan air dari curah hujan ke danau atau laut secara alami. Jika melihat batas-batas tersebut jelas bahwa DAS merupakan sistem hidrologi. Baik atau tidaknya suatu DAS dinilai dari optimalisasi fungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air dari curah hujan alami ke danau atau sungai dan akhirnya ke laut. Pada DAS terjadi proses konversi/transfer dari curah hujan menjadi keluaran air pada outlet DAS. Dalam sistem alih, DAS dibagi menjadi zona produksi air/daerah hulu/daerah mata air yang memiliki fungsi konservasi, zona alih (daerah tengah) yang banyak kegiatan budidaya/produksi umumnya melibatkan sistem pertanian intensif, dan zona pengendapan dimana sedimen dan polutan diendapkan (hilir). Pengalihan sistem ini dapat terjadi pada semua tingkatan DAS, baik itu DAS (bermuara ke laut), sub-DAS (bermuara ke sungai besar) atau micro DAS (bermuara ke anak sungai). Karena lahan seluruhnya terbagi menjadi daerah aliran sungai, penggunaan daerah aliran sungai sebagai batas unit pengelolaan sumber daya alam sangat relevan. Dengan batas DAS, suatu kegiatan di suatu wilayah tertentu dapat diperkirakan dampaknya di hilir dan sebaliknya suatu dampak di hilir dapat dilacak sumbernya di hulu secara spasial dan temporal.
Kembali ke judul, dalam tulisan ini yang dimaksud dengan hulu tidak hanya dalam konteks spasial yang membagi DAS menjadi hulu di pegunungan, tengah di kawasan pertanian, dan hilir di kawasan perkotaan, tetapi mencakup hulu dalam konteks perencanaan, konteks pelaku/siapa yang terlibat, dan konteks pembaharuan pengetahuan, mental dan perilaku.
Dari konteks perencanaan, pengertian “hulu” adalah penggunaan data dan informasi yang valid sebagai dasar perencanaan. Data umumnya tidak tersedia dalam format dan skala yang memadai untuk disesuaikan dengan skala perencanaan. Dalam upaya pengendalian banjir misalnya, data utama yang umumnya tidak tersedia adalah data curah hujan di daerah hulu. Tidak banyak stasiun pengamatan hujan yang dipasang di DAS bagian atas. Alat pengukur curah hujan yang dipasang oleh berbagai instansi seperti BMKG, Pertanian, maupun PU, umumnya berada di bagian tengah dan hilir DAS. Dikombinasikan dengan informasi curah hujan berbasis satelit (Produk presipitasi berbasis satelit) yang saat ini sedang berkembang pesat, seperti GSMaP (Pemetaan Curah Hujan Satelit Global), GPM IMERG (Pengukuran curah hujan global–Pengambilan Multi Satelit Gabungan Terpadu), CHIRPS (Presipitasi Inframerah Kelompok Bahaya Iklim dengan Stasiun) dan lainnya, pemanfaatan alat pengukur curah hujan yang murah, mudah dan akurat yang dipasang tersebar di bagian hulu DAS akan dapat mendukung perencanaan pengelolaan DAS yang lebih baik dengan memenuhi kebutuhan data hujan yang cukup.
Selain data, iptek hasil penelitian dan pengembangan juga harus menjadi dasar kebijakan pengelolaan DAS. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2019 tentang Sistem Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Nasional (IPTEK) mewajibkan kebijakan pembangunan nasional didasarkan pada hasil penelitian dan pengembangan. Salah satu wujud keseriusan pemerintah dalam mendukung kebijakan berbasis iptek adalah dengan dibentuknya Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) untuk mengatasi persoalan fragmentasi organisasi, akuntabilitas dan inefisiensi program riset dan pengembangan. Dari basis data dan iptek dapat dibuat skala prioritas secara sistematis sehingga pelaksanaan kegiatan lebih efisien. Kesenjangan/gap antara pengetahuan yang ada, kebijakan yang dibuat, dan implementasi yang dilaksanakan harus segera dijembatani.
Berkaitan dengan data hujan, peneliti DAS Pusat Penelitian Ekologi dan Etnobiologi, BRIN telah mengembangkan alat pengukur curah hujan sederhana bernama ATHUS (Simple Rain Gauge) yang murah namun akurat yang dapat dipasang di hulu DAS dengan alat sederhana. mendekati. ilmu warga (CS). Dalam konsep CS ini, ATHUS dipasang di sekolah dasar di hulu DAS dan observasi dilakukan oleh anak-anak sekolah dasar sebagai bagian dari peningkatan pengetahuan dan kewaspadaan bencana sedini mungkin. Data Curah Hujan ini kemudian secara bertahap menggunakan jaringan internet untuk dipindahkan ke tingkat yang lebih tinggi untuk diproses. Dalam perkembangannya, dengan memanfaatkan perkembangan Internet of Things (IoT), ATHUS dimodifikasi menjadi alat curah hujan yang dapat mengirimkan data secara otomatis, realtime, untuk mendukung sistem peringatan dini banjir dan tanah longsor (Sistem Peringatan Sangat Dini). Saat ini, alat yang dibuat oleh peneliti BRIN dan mahasiswa Departemen Ilmu Komputer dan Elektronika MIPA UGM ini sedang dalam proses pengajuan hak paten.
Selain data hujan, pemanfaatan teknologi modern yang dipadukan dengan CS sangat diperlukan dalam penguatan database untuk perencanaan DAS serta monitoring dan evaluasi.
“Hulu” berikutnya menyangkut para pelaku langsung pada tahap implementasi, terutama keterlibatan masyarakat baik di hulu, tengah, maupun hilir. Di bagian hulu dan tengah, bangunan konservasi tanah dan air (KTA) yang dibangun pemerintah dengan biaya besar, seperti gully plug, bendungan penahan, bendungan kontrol hingga waduk, akan cepat kehilangan fungsinya jika budidaya petani tidak ditangani dengan baik. dengan prinsip-prinsip CTA yang baik. Beberapa teknik KTA bidang pengolahan tanah yang dapat diterapkan antara lain terasering, rorak, mulsa, pembatas rumput, guludan, dan tanaman penutup tanah. Dalam konteks ini, subsidi bagi masyarakat petani untuk melakukan kegiatan KTA di lahannya menjadi penting karena dalam jangka pendek kegiatan KTA dapat mengakibatkan penurunan produktivitas lahan. Pendampingan dan alih pengetahuan dan teknologi KTA yang dipadukan dengan kearifan lokal perlu digalakkan sebagai pelengkap kegiatan penanggulangan banjir dan tanah longsor yang berbiaya tinggi. Pemilihan teknologi yang sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat (pendekatan sosioteknis), adalah opsi wajib. Pendampingan dan partisipasi para pihak adalah penting. Termasuk adanya lembaga yang dapat menjadi penghubung antara pemerintah dengan masyarakat. Dalam konteks ini, apakah Forum Koordinasi Pengelolaan DAS menurut PP 37 Tahun 2012 dapat berfungsi: a) Menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat; b) Menyumbang ide; dan c) Menumbuhkan dan mengembangkan peran pengawasan masyarakat dalam pengelolaan DAS, menjalankan fungsinya secara lebih nyata dengan menyumbangkan pemikiran seperti “fatwa” serta melakukan pengawasan “bergigi”?
Selanjutnya termasuk dalam konteks “hulu” adalah memberikan pemahaman yang benar sedini mungkin tentang DAS, manfaat hutan, resiko banjir, tanah longsor dan kekeringan, termasuk resiko membuang sampah kepada masyarakat dengan memasukkan ini. pendidikan dalam kurikulum sekolah dasar di daerah hulu DAS sampai perkotaan terutama yang tinggal di daerah rawan banjir seperti daerah aliran sungai dan bantaran sungai. Peningkatan kapasitas literasi berbagai pihak termasuk birokrasi terkait pengelolaan DAS merupakan langkah strategis untuk menyamakan persepsi dan meningkatkan pengetahuan masyarakat. Pembaharuan pemahaman melalui peningkatan literasi merupakan salah satu dasar perubahan sikap dan mental. Dasar lain untuk mengubah sikap dan mentalitas adalah penguatan iman. Kitab suci telah memberikan bimbingan, dan sains telah menggali lebih dalam. Dimasukkannya konsep-konsep ilmiah tentang daerah aliran sungai, serta pengendalian banjir dan tanah longsor dalam bahasa sederhana ke dalam khotbah-khotbah dalam ibadah akan menciptakan keselarasan antara iman dan pemahaman ilmiah.
Sebagai penutup, secara teoritis pengendalian banjir dapat disederhanakan dalam 3 langkah dari hulu ke hilir yang disingkat tiga huruf KTP. K adalah kontrol aliran, T adalah peningkatan infiltrasi, dan P adalah peningkatan saluran. Penggunaan konsep KTP secara terstruktur dan sistematis dengan pendekatan kembali ke “hulu” akan mampu menciptakan kondisi DAS yang lebih sehat dan produktif. Namun, yang tak kalah penting adalah eksekusi seluruh niat baik tersebut, yakni dengan memperbaiki perilaku, menghilangkan ego sektoral dan melibatkan para ahli. Tentu saat hujan deras, meningkatkan keimanan menjadi hal utama dan kerja cerdas adalah lapisannya. ***