Berkat media sosial, tidak ada lagi tempat indah yang tersembunyi. Seperti Sungai Alut, keperawanannya telah disentuh para pemburu penyembuh.
ZALYAN S ABDI, Batulicin
Sungai ini terletak di Kecamatan Mantewe, Kabupaten Tanah Bumbu.
Foto-foto warga yang bermain air dengan ban bekas di Sungai Alut memantik kedatangan pengunjung.
Apalagi hanya satu jam perjalanan dari pusat kota Batulicin.
Akhir pekan lalu, warga Batulicin, Mega Wulandari, pergi ke sana bersama. Ia dan keluarga besarnya tinggal di tepi pantai.
Unggahan anak-anak bermain di perairan dangkal dengan bebatuan dan pepohonan besar tentu menjadi pemandangan langka baginya. Go Mega, naik beberapa mobil.
Tua muda, anak kecil, semua ikut. Yang mereka bawa hanyalah baju ganti dan bekal makan siang.
Perjalanan ke Mantewe lancar. Lubang minimal. Jalur ini jarang dilalui. Jika terus mendaki ke atas Mantewe, kita akan melewati Loksado, Kabupaten Hulu Sungai Selatan.
Setelah bertanya-tanya, mereka sampai di Desa Alut. Tepat di bawah jembatan di ujung desa, pemandangan menakjubkan terbentang di bawah. Sungai itu lebar dan dangkal dengan bebatuan.
Di sana mereka turun. “Jarang kita melihat ini ya?” tanya Alfian Cemple, kerabat Mega.
Para pecinta alam menyadari bahwa alam Sungai Alut masih asri. Sungainya jernih. Dasar sungai terlihat jelas.
Mereka bukan satu-satunya. Di sepanjang tepi sungai, banyak keluarga lain. Cemple tidak tahu. Tapi dia pernah melihat satu atau dua wajah di Batulicin.
Tenda dan kursi sudah disiapkan. Penuh warna. Tawa anak-anak menggelegar, menenggelamkan kicau burung. Semua wajah bahagia.
Cemple kemudian berjalan berkeliling. Jiwa bisnisnya melambung tinggi. Dia sangat membutuhkan penghasilan sampingan. Ada kebutuhan yang harus dipenuhi.
Dia kemudian pergi ke Hasan. Pria asal Loksado yang asyik di pojokan itu sedang menghitung uang sewa ban bekas (tubing).
Hasan menceritakan kepada Cemple bahwa dia mendengar bahwa penduduk setempat telah berbondong-bondong ke Alut belum lama ini. Hasan kemudian dengan santainya membawa ban bekas yang biasa digunakan untuk river tubing di Loksado. River tubing di tempat itu sepertinya sepi.
Iseng-iseng yang membuntuti rupiah. Puluhan ban disewakan secara bergantian. “Paling ramai Sabtu dan Minggu. Apalagi tahun baru,” ujarnya.
Kini, setiap minggu Hasan memilih Alut ketimbang Loksado. Warga Tanah Bumbu sepertinya sudah tidak asing lagi bermain di sungai seperti itu.
Padahal, untuk anak-anak pesisir, mereka tidak membutuhkan alat bantu renang. Namun sensasi berselancar memang seperti itu, mereka tidak menemukannya di pantai.
“Ini harus dikelola. Melalui masyarakat, dibantu dan dibina oleh pemerintah,” kata Cemple kepada penulis.
Dia telah memimpikan bisnis persewaan atau membangun restoran.
Saat ditanya soal kecenderungan warga setempat cepat bosan, dia membenarkan. “Tapi kalau kita kemas dengan konsep yang memberikan tantangan, saya kira bisa berhasil,” jawabnya.
Yang paling membuatnya senang, selama beberapa kilometer, sungai itu aman. Bahkan untuk anak-anak. Dia sudah memeriksa bolak-balik.
“Hanya saja, untuk sungai seperti ini harus waspada jika terjadi hujan deras berhari-hari. Debitnya naik, arusnya biasanya ekstrim,” jelasnya.
Dihubungi terpisah, Kepala Dinas Budporapar Tanah Bumbu Hamaludin Tahir memberikan saran taktis. “Akan lebih baik jika desa yang mengelolanya,” katanya.
Namun, ada syaratnya. Desa harus bekerja sama dengan pemilik konsesi lahan di sana. “Setahu saya itu milik perusahaan swasta. Ini hanya koordinasi saja,” ujarnya.
Tahir menilai pariwisata akan lebih berkembang jika dikelola oleh warga sekitar.
“Tolong masukkan. Nanti kalau sudah beres, kita bisa keluarkan SK (SK) Desa Wisata,” jelasnya.
Ia yakin, di era saat orang berlomba-lomba mengunggah foto keren di media sosial, pariwisata menjadi motor penggerak perekonomian.
Baginya, wisata alam adalah bisnis yang sehat. Sangat berbeda dengan wisata kehidupan malam. (gr/fud)