Jakarta, InfoPublik – Wilayah Papua pernah menjadi bahan tertawaan Belanda. Itu terjadi pada abad ke-17, ketika sejumlah pelaut Belanda melakukan perjalanan di sepanjang pantai Papua. Belanda yang baru saja mengambil alih jalur perdagangan cengkih dari Portugis, Spanyol, dan Inggris, penasaran dengan Nusantara. Dan kemudian mereka menyisir daerah yang indah itu.
Sejumlah orang ikut serta dalam perjalanan tersebut. Jan Carstensz, salah satunya. Carstensz adalah seorang pelaut yang dikagumi oleh orang Eropa daratan karena keberaniannya.
Mengutip catatan Arkeolog Hari Suroto, saat para pelaut mengarungi sisi selatan Laut Arafura, Carstenz melihat dataran hijau Papua. Ia kagum dengan keindahan Papua. Pepohonan rimbun, pegunungan yang tertutup salju.
Ia pun menceritakan kepada rekan-rekannya dari Eropa. Bukannya heran, rekan-rekannya malah menertawakannya. Apa yang dilihat Carstenz sepertinya telah dilupakan.
Namun, Belanda mulai menyadari kontrol mereka atas New Guinea setelah Inggris memproklamasikan kekuasaan mereka atas bagian tenggara New Guinea pada tahun 1884. Pada tahun yang sama, Jerman juga mengibarkan benderanya di timur laut New Guinea.
Tak ingin kedua negara mengklaim Papua, Belanda kemudian bertindak cepat dengan mengklaim Raja Ampat hingga 141 derajat ke timur (jalur yang membentang ke timur dari Kota Jayapura hingga Merauke) sebagai wilayahnya.
Garis batas antara Papua dan Papua Nugini disahkan pada 16 Mei 1895 di s’Gravenhage Belanda. Klaim Belanda akhirnya diakui oleh Inggris pada tahun 1895, disusul dengan pengakuan Jerman pada tahun 1910.
Untuk mengkonfirmasi klaim mereka atas New Guinea, Belanda memulai ekspedisi. Sejumlah orang rupanya mengingat kisah yang diceritakan Carstenz.
Salah satunya adalah HA Lorentz, ilmuwan petualang Belanda. Lorentz merasa tertantang untuk membuktikan cerita yang dikemukakan Carstenz.
Belanda pun bertekad, jika benar ada pegunungan bersalju di Papua –yang dikuasai Belanda–, maka yang pertama menaklukkannya adalah Belanda, bukan orang Eropa lainnya.
Belanda kemudian menugaskan Lorentz untuk memimpin ekspedisi tersebut pada tahun 1907. Ekspedisi tersebut dikawal oleh detasemen militer yang tangguh.
Lorentz dan timnya memulai perjalanan dari pesisir tenggara. Mereka pergi ke hulu di sepanjang Noord atau North River dengan perahu. Sungai itu kemudian dikenal sebagai Sungai Lorentz.
Rute dari sungai dilanjutkan dengan berjalan kaki melewati hutan hujan tropis yang belum pernah dijamah siapapun. Tim menghentikan ekspedisi, karena di tengah perjalanan mereka terjangkit penyakit beri-beri akibat kekurangan bekal dan asupan vitamin. Petualangan itu gagal.
Meski gagal mencapai puncak gunung, Lorentz dan tim berhasil mengidentifikasi flora dan fauna Papua secara ilmiah. Selama ekspedisi mereka juga sempat berhubungan dengan warga suku Nduga dan Dani.
Setelah dua tahun, Lorentz kembali ke ekspedisi. Ia kembali menelusuri rute yang telah dilaluinya sebelumnya. Dia mencatat banyak hal pada ekspedisi kedua ini. Mulai dari spesimen tumbuhan hingga hewan yang ada di daerah tersebut.
Berbeda dengan ekspedisi pertama, pada ekspedisi kedua ini mereka membawa perbekalan yang cukup. Dalam ekspedisi kedua ini, mereka bertekad membuktikan apa yang dikatakan Carstenz.
Tekad itu tidak sia-sia. Semakin tinggi mereka mendaki, dia melihat pohon-pohon hutan semakin menipis dan oksigen semakin menipis. Tanah basah yang mereka injak berwarna putih seperti salju. Salju semakin tebal dan semakin tebal, dan ketika mereka melihat ke atas, mereka bertemu dengan pemandangan salju yang sangat besar di lereng gunung. Gunung bersalju itu kemudian diberi nama Wilhelmina (nama Ratu Belanda). Sedangkan Puncak Jaya dengan ketinggian mencapai 4.884 mdpl, Puncak Jaya atau Carstensz Pyramid memiliki salju abadi.
Saat itu, luas es di Puncak Jaya diperkirakan sekitar 20 km2. Namun, akibat pemanasan global, es di puncak semakin menipis. Pada tahun 2002 diperkirakan akan berkurang menjadi 2 km2, pada tahun 2005 menjadi 1,8 km2; 0,6 km2 pada 2015, 0,46 km2 pada Maret 2018, dan 0,34 km2 pada Mei 2020.
Salju terakhir di Puncak Jaya diprediksi akan hilang pada tahun 2026.
Ilustrasi salju di puncak gunung. Foto: Enrique/Pixabay
Anda dapat menyiarkan ulang, menulis ulang, dan/atau menyalin konten ini dengan mengutip sumbernya InfoPublik.id