Masyarakat di Kalimantan Selatan khususnya yang berada di Kota Banjarmasin pasti sudah tidak sabar untuk menyaksikan film asli Banua yaitu Jendela Seribu Sungai yang akan tayang di bioskop pada 20 Juli 2023.
Jelang dirilis, film besutan rumah produksi Radepa Studio itu juga merilis poster dan trailer resmi pada 7 Juni lalu.
Poster yang ditampilkan untuk film Window of a Thousand Rivers juga cukup menarik dan secara gamblang menginformasikan bahwa film arahan Jay Sukmo ini bertemakan anak-anak.
Terlepas dari rilis filmnya, banyak orang mungkin tidak tahu siapa penulis novel Window of a Thousand Rivers, dari mana asalnya dan bagaimana perjuangannya menulis novel sebelum diadaptasi ke layar lebar. .
Saya masih ingat film Laskar Pelangi menjadi salah satu film inspiratif Indonesia yang rilis pada tahun 2008. Film ini diadaptasi dari novel laris berjudul sama karya Andrea Hirata dan mendapat respon positif dengan penonton mencapai 4,6 juta di bioskop.
Terinspirasi dari Laskar Pelangi, Avesina Soebli yang menjadi associate producer film tahun 2008 tersebut ingin mengulangnya, namun dengan mengambil kisah hidup anak-anak Seribu Sungai di Banjarmasin dan anak-anak Dayak Loksado, Hulu Sungai Selatan.
Agar sesuai dengan semangat novelnya, Avesina menggandeng tangannya
seorang sastrawan muda berbakat dari Kandangan, Hulu Sungai Selatan, Miranda Septiana.
“Saya bertemu Pak Avesina Soebli pada 15 Desember 2015 di Bandara Syamsudin Noor menjelang penerbangannya ke Jakarta. Awalnya dikenalkan oleh Pak Zulfaisal Putera,” kata Miranda.
Gadis kelahiran Kandangan, Hulu Sungai Selatan, 16 September 1996 ini menambahkan, ternyata Aves pernah membaca cerpen pertamanya yang dimuat di SKH Kompas dengan Kisah Kelengkeng terbitan 1 November 2015.
Dalam pertemuan itu, produser asosiasi film Garuda Di Dadamu (2009) dan Sang Pemimpi itu meminta Miranda menulis novel.
“Awalnya novel ini akan diberi judul River of a Thousand Windows. Terinspirasi dari perjalanan Pak Aves menyusuri Sungai Martapura menuju Barito dari subuh hingga senja. Saat kami bertemu dan saya ‘menegosiasikan’ judulnya. Saya menawarkan untuk menggantinya dengan Jendela Seribu Sungai dengan alasan Banjarmasin dikenal sebagai Kota Seribu Sungai,” jelasnya.
Pada 11 Januari 2016, Miranda dikirimi Aves sinopsis singkat novel ini. “Saya diberi waktu beberapa hari untuk membuat teaser berupa tiga halaman pertama dari novel tersebut,” ujarnya, sebenarnya menulis bersama.
Di awal perbincangan, ia pernah mengatakan, “Mir, sudah biasa menulis cerpen, beda dengan menulis novel. Ibarat berpindah dari Iqra ke Al-Qur’an, butuh nafas panjang. Ini adalah perjalanan maraton. “Walaupun ini novel pertamamu, tapi aku yakin kamu bisa,” katanya seraya menambahkan bahwa Pak Aves banyak membimbingnya saat menulis.
Miranda menambahkan, penelitian terhadap novel ini menguras energi fisik dan mental. “Penelitiannya 2 tahun. Mulai dari literature review, ketemu narasumber, observasi. Termasuk mengajak Balian untuk merapal mantra. Saya juga melewati hutan jam 1 pagi. Saya juga menyusuri sungai Kuin Kacil, ketemu buaya muara,” ujarnya. dikatakan.
Novel Jendela Seribu Sungai sendiri resmi terbit pada 15 September 2018 di Gramedia Duta Mall Banjarmasin. Bersamaan dengan terbitnya novel tersebut, saat itu Miranda berharap nantinya bisa diadaptasi ke layar lebar seperti Laskar Pelangi.
Setelah menunggu selama lima tahun, impian lulusan Program Studi Psikologi Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin itu terwujud. Cerita yang diadaptasi dari novel Jendela Seribu Sungai ini akan tayang di bioskop-bioskop Indonesia, termasuk di Kalimantan Selatan, pada 20 Juli mendatang.
“Untuk Pak Aves dan saya, kami berharap novel dan film ini menjadi sungai berkah bagi banyak orang. Amal bagi banyak orang yang terlibat. Ladang rezeki,” kata
SDM di perusahaan tambang di Jakarta ini.
Yang terpenting, kata Miranda, berkreasi bisa bermanfaat bagi orang-orang di sekitar kita, seperti filosofi pohon Pulantan yang dianggap sebagai pohon kehidupan masyarakat Dayak Loksado. Tumbuh tinggi, bertumpuk tiga seperti payung saat orang selesai mengaji. “Saya ingin seperti itu. Itu bisa kokoh dan teduh hanya untuk orang-orang,” katanya.
Miranda juga mengatakan, dalam pembuatan film Jendela Seribu Sungai ini akan melibatkan seniman-seniman muda dari Banjarmasin, Loksado dan Nagara.
“Karena ini terkait dengan kekhasan tokoh-tokoh dalam novel Jendela Seribu Sungai itu sendiri yang tinggal di tiga wilayah tersebut,” ujarnya.
Film ini diadaptasi dari novel Window of a Thousand Rivers. Bercerita tentang tiga anak yang mimpinya terbelenggu oleh keadaan. Bunga, seorang anak penderita cerebral palsy bercita-cita menjadi seorang penari. Namun mimpinya hampir tenggelam, karena keteledoran orang tuanya.
Lalu Kejora, anak Dayak Meratus yang bercita-cita menjadi dokter tapi ditentang oleh ayahnya sendiri. Ayahnya ingin Kejora meneruskan tradisi keluarga menjadi balian.
Akhirnya Arian, cita-citanya menjadi seniman kuriding mulai diragukan setelah ayahnya mengatakan bahwa karya seniman kuriding adalah karya masa lalu. Padahal ayahnya adalah seorang seniman kuriding. Hingga suatu hari mereka bertemu dengan Ibu Sheila yang memperkenalkan arti sungai mimpi kepada mereka bertiga.
Siapa Miranda? Dari namanya, orang mengira itu bukan Urang Banjar, apalagi sekarang tinggal di Jakarta
Padahal, wanita cantik ini adalah seorang sastrawan asal Kalimantan Selatan. dapat diandalkan. Cerpen-cerpennya tidak hanya dimuat di surat kabar lokal, tetapi juga nasional, seperti SKH Kompas.
“Cerpen saya yang berjudul Sebat Lingkeng Bercerita masuk koran Kompas pada 1 November 2015,” ujarnya.
Cerpen ini pula yang membuat Miranda muncul dalam kumpulan cerpen pilihan Kompas 2015.
Kemudian cerpen berjudul Sekuntum Melati Ibu masuk dalam kumpulan cerpen pilihan Kompas 2017. Cerpen ini mengangkat makna rangkaian bunga melati pengantin dengan latar cerita sungai Pangambangan, Banjarmasin.
“Setelah itu, karya saya lebih banyak mengusung konten lokal Kalsel,” ujarnya.
Seperti pada cerpen tunggal kumpulan Miranda berjudul Stadion Rindu yang terbit pertengahan 2018.
Novel terbaru lulusan Psikologi Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Banjarbaru berjudul Lalu Tenggelam di Ujung Matamu.
Ada juga antologi oleh Miranda antara lain Mereka Mengeja Larangan Mengemis (2020), Sedekah dan Kantong Plastik (2020, Kasur Tanah (2018), Hujan dan Jatuh Cinta (2018), Menembus Kegelapan, Meraih Rindu (2017),
Anak Ini Mau Kencing di Jakarta? dan lain-lain.
Kemudian cerpen yang dimuat di media cetak antara lain, Semangkuk Perpisahan di Meja Makan (Kompas, 17 Maret 2019), Tungku Nikah (Kompas, 8 April 2018), Ada Apa Dengan Mimo? (Suara Merdeka, Januari 2018), Sekuntum Melati Ibu (Kompas, 9 Juli 2017), Papadaan (Banjarmasin Post, 16 April 2017) dan lainnya.