Koalisi Masyarakat Sipil telah mengeluarkan kritik yang tajam terhadap Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) yang memungkinkan mantan narapidana korupsi untuk maju sebagai calon anggota legislatif tanpa harus menunggu selama lima tahun. Kurnia Ramadhana dari Indonesia Corruption Watch (ICW) menyatakan bahwa ketentuan yang terkandung dalam PKPU Nomor 10 Tahun 2023 dan PKPU Nomor 11 Tahun 2023 bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Dalam kedua aturan tersebut, KPU menafikan aturan MK mengenai jeda lima tahun, selama vonis pengadilan telah mencantumkan pencabutan hak politik para koruptor. Koalisi Masyarakat Sipil secara tegas menyatakan bahwa KPU memihak pada koruptor karena memberikan kesempatan kepada mereka untuk mencalonkan diri sebagai anggota DPR, DPRD, atau DPD RI tanpa memerlukan masa jeda waktu lima tahun.
Peneliti Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Fadli Ramadhanim, menilai bahwa kedua PKPU memungkinkan mantan narapidana korupsi untuk menghindari masa jeda lima tahun sebelum mencalonkan diri dan merusak persyaratan bagi mantan terpidana korupsi yang telah ditetapkan dalam undang-undang Pemilu.
Charles Simabura, Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Universitas Andalas, menyatakan bahwa kedua PKPU tersebut merupakan bentuk penyelundupan hukum yang pro-koruptor. Menurut Charles, ada masa jeda lima tahun bagi mantan terpidana korupsi agar masyarakat dapat memilih calon anggota legislatif yang bersih dari korupsi pada Pemilu 2024.
Sebagai tindak lanjut dari kritik tersebut, Bawaslu harus mengawasi serta melakukan upaya hukum dan koreksi terhadap kedua PKPU. Dengan demikian, hal ini tidak hanya akan memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk mendapatkan calon anggota legislatif yang berintegritas, tetapi juga memberikan efek jera bagi para pelaku korupsi.