Pemerintah Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan, masih terus berupaya mencari cara yang efektif dan efisien untuk membasmi dan mengendalikan Tumbuhan Mimosa Air (Neptunia Oleraceae) yang dikenal masyarakat sebagai ‘Susupan Gunung’, sejenis Mimosa besar. Tanaman.
Kontroversi terjadi dalam upaya pengendalian tanaman yang dianggap sebagai tanaman pengganggu (gulma) ini karena sebagian masyarakat di pedesaan telah menggunakan drone untuk menyemprot bahan kimia, sedangkan peneliti dari Universitas Lambung Mangkurat (ULM) menyarankan pengendalian secara manual menggunakan perahu pencacah.
Baca juga: Petani tunda tanam padi di lahan seluas 125 hektare antisipasi hama
“Sebaiknya dilakukan pengendalian secara manual hanya melalui perahu perajang karena tanaman Susupan Gunung sudah tidak tumbuh lagi,” ujar Ketua Peneliti Fakultas Pertanian ULM Banjarbaru Dr Ir Yusriadi Marsuni MSi dalam kegiatan Focus Group Discussion di Mess Negeri Dipa Amunta, melalui siaran pers yang diterima Kamis.
Yusriadi mengatakan, pengendalian secara manual lebih ramah lingkungan, dimana potongan batang, daun dan biji tanaman Mimosa Air akan tenggelam ke dalam air sehingga tidak tumbuh lagi.
Kepala Bagian Hama dan Penyakit Tumbuhan menjelaskan bahwa benih tanaman Mimosa Air yang telah tenggelam tidak akan tumbuh kecuali jika jatuh pada area tertentu di atas permukaan air.
Sementara itu, tumpukan potongan tanaman di perairan akan menjadi habitat bagi beberapa jenis ikan lokal untuk berkembang biak. Berbeda dengan hasil penyemprotan drone yang masih menyisakan tanaman mati di atas air.
Anggota Komisi II DPRD HSU Junaedi juga mengaku khawatir karena cukup banyak anggaran dari dana desa yang digunakan kelompok tani untuk membiayai penyemprotan menggunakan drone.
Bahkan pada Rabu (6/6), Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) Kabupaten Amuntai Tengah kembali melakukan kegiatan demonstrasi penggunaan teknologi drone bagi petani untuk memberantas Gunung Susupan.
Sementara itu, Camat Amuntai Tengah, Amberani menyarankan agar pemerintah daerah tidak tanggung-tanggung dalam menggunakan mesin hitung Gunung Susupan agar hasilnya maksimal.
“Beli saja mesin pencacah buatan Jepang yang lebih canggih,” kata Amberani.
Namun menurut peneliti ULM, perahu mesin pencacah hasil karya perajin di Kabupaten HSU sudah cukup baik untuk membuat saluran air di ladang gulma untuk memudahkan pengendalian lebih lanjut.
Pengendalian secara manual dengan mesin pencacah juga mendapat dukungan dari Kepala Dinas Perikanan HSU, Ismarlita, sehingga kelestarian perikanan terjaga.
“Bahan kimia dari penyemprotan berdampak pada ekosistem perikanan, mengganggu rantai makanan, jika ikan terkontaminasi kita khawatirkan dampaknya bagi manusia yang mengkonsumsi ikan tersebut,” ujar Ismarlita.
Peserta FGD memberikan masukan kepada Tim Peneliti bahwa permasalahan penurunan produksi pertanian selain karena keberadaan Gunung Susupan yang tidak terkendali, juga permasalahan tata air lahan pertanian yang kurang baik dan kurangnya motivasi petani untuk mengelola lahan.
“Petani kekurangan modal dan menilai hasil tani tidak menguntungkan, sehingga ada yang memilih pekerjaan lain di sela-sela libur tani,” ujar salah satu peserta.
Akibat cuaca ekstrim, resapan gunung dan banjir, produksi pertanian di Kabupaten HS menurun drastis. Berdasarkan informasi peserta FGD Dinas Pertanian Ketahanan Pangan Kalsel, panen padi di HSU beberapa tahun sebelumnya bisa mencapai 28.000 hektar, terus menurun pada tahun 2021 menjadi 7.000 ha dan pada periode Oktober-September 2022 hanya 900 ha yang dipanen.