Kyai Afifuddin Muhajir (kiri) menjelaskan masalah istithaah pada Mudzakarah Perhajian Indonesia 2022
Situbondo (Kemenag) — Rais Syuriah PBNU yang juga Wakil Pengasuh Pesantren Salafiyah Syafi’iyyah Situbondo KH Afifuddin Muhajir menggarisbawahi pentingnya mendistribusikan nilai manfaat dana haji secara proporsional. Hal itu didasarkan pada kemaslahatan dan keadilan.
Penegasan ini disampaikan Kyai Afifuddin saat menjadi pembicara pada Mudzakarah Perhajian Indonesia di Pesantren Salafiyah Syafi’iyyah Situbondo. Mudzakarah ini mengangkat tema “Bipih dan Keberlangsungan Pembiayaan Haji”.
Mudzakarah dihadiri para ulama yang tergabung dalam konsultan ibadah haji 2022, para akademisi, termasuk pakar keuangan dari Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH). Hadir juga para Kepala Kanwil dan Kabid Penyelenggaraan Haji dan Umrah (PHU) Kemenag Provinsi.
Menurut Kyai Afifuddin, haji hanya wajib bagi orang yang memiliki kemampuan membayar secara sempurna Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) yang ditetapkan pemerintah. Namun, penetapan BPIH harus atas dasar keadilan bagi kedua pihak, pemerintah dan jemaah.
“Penentuan BPIH harus berdasarkan kemaslahatan dan keadilan dua belah pihak. Tidak merugikan negara dan tidak merugikan calon jemaah. Bagaimana jemaah tidak diberatkan dan bagaimana negara tidak rugi,” terangnya di Situbondo, Selasa (29/11/2022).
“Tidak harus untung, yang penting tidak rugi,” sambungnya.
Lantas, bagaimana jika BPIH itu dikelola pemerintah? Ulama ahli Ushul Fiqh ini menjelaskan bahwa jika BPIH dikelola, maka harus ada pembagian keuntungan. Bisa saja, pemerintah membuat kebijakan dengan menerima setoran pembayaran yang tidak sepenuhnya dari jemaah.
Misalnya, kata Kyai Afifuddin, jika BPIH 100juta, negara punya toleransi jemaah menyetor sebagian (sekian prosen) dari jumlah itu. “Yang penting jangan terlalu kecil. Dasarnya kesepakatan dan keadilan negara,” sebutnya.
“Pada dasarnya, negara tidak punya kewajiban mensubdisi jemaah. Yang penting, pemerintah memberi kemudahan kepada jemaah agar bisa berhaji dengan baik,” sambungnya
Terkait istithaah, Kyai Afifuddin menjelaskan bahwa itu didefinisikan sebagai orang yang memiliki segala yang dibutuhkan untuk perjalanan haji dan itu lebih dari yang dibutuhkan untuk nafkah keluarga yang menjadi tanggungannya. Jemaah tersebut juga tidak punya utang, baik kepada Allah maupun manusia.
“Ada orang berangkat haji meninggalkan utang. Padahal sebelum berangkat haji, harusnya utang dilunasi dulu. Sekarang banyak orang haji dengan berutang, meski hajinya tetap sah,” ujarnya.
“Salah satu bentuk utang adalah dana talangan haji,” sambungnya.
Hal senada disampaikan oleh Dosen UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, Dr Abdul Moqsith Ghozali. Menurutnya, kewajiban berhaji adalah kewajiban individual. Pemerintah bertugas sebagai fasilitator, sementara kehadiran Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) membantu meringankan jemaah agar tidak terlalu mahal.
Sehubungan dengan kenaikan biaya haji yang sangat signifikan pada 2022, Moqsith memandang perlunya menaikkan biaya haji secara bertahap. Hal itu penting dilakukan demi keberlangsungan pembiayaan ibadah haji.
Menurutnya, tahun 2022, rata-rata biaya haji mencapai 97,7juta, sementara yang dibayar jemaah pada kisaran 39,8juta. Sisanya diambilkan dari nilai manfaat dana optimalisasi. “Jika pola ini dipertahankan, nilai manfaat dana optimalisasi haji bisa habis pada 2027,” terangnya.
“Usul, kenaikan biaya haji dilakukan secara bertahap,” tandasnya.