Diperbarui: 5 April 2023 20:11
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Nama Reza Rahadian malang melintang di industri film Indonesia. Sudah nyaris nggak kehitung ya, doi nongol di film apa saja. Nah, dari sekian banyak tayangan itu, saya paling “klik” dengan peran Reza sebagai Zein di film ‘Emak Ingin Naik Haji’
Di film ini, Zein diceritakan adalah sosok duda sederhana yang sayaaaangg banget dengan emaknya (diperankan Ati Kanser). Interaksi emak-anak ini beneran membetot atensi. Tipikal slice of life movie, Nampak sederhana bersahaja, tapi memberikan ‘after effect‘ yang jleebbb banget!
Reza Rahadian melakoni perannya dengan amat effortless. Kayak yaaa nggak ngoyo gitu, tapi feel-nya nancep banget di benak penonton. Aselik, chemistry pemerannya luar biasa. Pastilah makin ciamik lantaran jajaran sutradara, penulis skenario, dan seluruh kru yang amat paripurna!
“Emak Ingin Naik Haji” diangkat dari cerpen oleh Asma Nadia yang bertajuk serupa. Sesuai dengan judulnya, sosok Emak di film ini amat mendambakan bisa ibadah ke Baitullah. Mimpi “Labbaik Allahumma labbaik” itu senantiasa ia pancangkan. Rindu bertalu-talu untuk bisa ke Masjidil Haram di Mekkah… Apalagi Emak bertetangga dengan Haji Saun keluarga pengusaha besi tua dan jual beli kapal. Keluarga yang tajir melintir nan baik hati, yang saban tahun naik haji. Jadi makin mupeng untuk naik haji juga kan?
Melihat cita-cita mulia sang Emak, sungguh menerbitkan kegalauan maksimal di hati Zein. Ia sangat ingin berkontribusi memberangkatkan haji. Sayangnya, kondisi finansial Zein terbilang pas-pasan. Ia duda cerai, udah gitu mantan istrinya hobi banget merongrong minta duit melulu. Padahal, Zein kerjanya hanyalah seorang penjual lukisan pinggir jalan. Tentu dengan pendapatan yang engga bisa ketebak. Konflik dan ironi bertebaran dengan rapi, mulai dari sisi kontras dengan tetangganya maupun dengan pejabat yang naik haji hanya mengejar “titel haji” semata.
Bulir air mata menetes tanpa diundang. Saya benar-benar larut dalam “aura magis” yang dipertunjukkan para pemeran film ini. Ya Allah, merinding bangeettt. Betapa kuat kerinduan untuk beribadah ke Baitullah. Betapa lembut hati Emak, hati Zein dan para tokoh yang ada di film ini.
*
Seperti yang saya singgung di awal, Interaksi emak-anak dalam film ini beneran membetot atensi. Nampak sederhana bersahaja, tapi memberikan ‘after effect‘ yang jleebbb banget!
Hubungan antara anak dan ortu (terutama ibu) bisa dibilang cukup complicated. Love and hate relationship hampir selalu terjadi dalam interaksi ini. Pola pikir yang berbeda jauh, generation gap, serta personality yang berlainan kerap menjadi pemicu munculnya konflik antara ibu dan anak. Di era digital ini, amatlah mudah untuk menemukan status atau tweet yang intinya menuding “toxic parents”-lah atau apapun itu terminologi yang intinya “anak nggak akur dengan emak”